Titik Nol Kilometer Jogja (Sumber: IG @rickyansari_01)

Apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata Jogja atau Yogyakarta? Perasaan rindu? Keinginan pulang? Atau malah angkringan? Kalau kata penyair Joko Pinurbo, ketiga-tiganya. Iya, 

"Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan." 

Tak bisa dimungkiri, bagi yang pernah ke Jogja atau orang Jogja yang merantau, rasa rindu dan (ingin) pulang akan terus ada. Sementara bagi yang menetap, akan memunculkan perasaan cinta tanpa akhir untuk Jogja, seperti dalam penggalan lirik lagunya Katon Bagaskara yang berjudul Jogja, Cinta Tanpa Akhir.

Jogja memang semenarik itu. Dan kali ini, aku akan berbagi cerita dari dolan heritage Jumat pekan lalu (21/2) bersama teman-teman blogger Kompasiana Jogja yang menyusuri kawasan nol kilometer.  Dengan dipandu oleh Yulia Sujarwo, kompasianer yang sehari-harinya berprofesi sebagai tour guide dan penulis novel, kami sedikit menguak satu-per satu sejarah bangunan-bangunan Belanda yang dari dulu hingga kini masih tetap berfungsi.

Titik nol kilometer merupakan jantungnya Yogyakarta sejak awal Keraton Yogyakarta berdiri pada abad ke-18. Kawasan ini tak pernah lepas dari sejarah panjang, kawasan ini juga menjadi saksi bisu banyaknya peristiwa penting yang telah terjadi dan yang akan terus berlangsung hingga peradaban terhenti. 

Istilah nol kilometer sendiri mulai banyak beredar ketika Sri Sultan HB IX menjadi raja. Dari dulu hingga kini, nol kilometer menjadi pusat perekonomian kota Yogyakarta, karena di kawasan tersebut berdiri kantor pemerintahan, kantor pos, bank, pasar, dan sebagainya.

Kawasan nol kilometer Jogja sempat dipagari, agar lalu-lintas lebih teratur (Dok. KITLV Leiden)
Tepat di tengah persimpangan dari 4 jalan yang diyakini merupakan titik nol kilometer Kota Yogya atau biasa disebut perempatan kantor pos besar, pernah dibangun sebuah kolam berbentuk lingkaran yang makin cantik dengan adanya air mancur. 

Namun, karena lama-kelamaan keberadaan kolam tersebut justru dimanfaatkan oleh para gelandangan untuk cuci-jemur sandangan dan bahkan untuk mandi, akhirnya Sri Sultan HB IX menginstruksikan untuk memusnahkan air mancur tersebut pada awal 1980-an.

Air mancur di titik nol kilometer Jogja, dulu (Dok. KITLV Leiden)

Penasaran juga bangunan-bangunan mana saja yang pekan lalu kami singgahi dan menyimpan kisah yang mungkin selama ini ternyata belum pernah mendengarnya? Kalau wisata ke Jogja pasti menyempatkan singgah ke kawasan ini, karena titik nol kilometer dan sekitarnya memang salah satu destinasi wajib. Tapi untuk sejarahnya, belum tentu semua menyempatkan untuk mengetahuinya.


1. Gedung Bank Indonesia

Gedung yang didirikan pada tahun 1879 ini dulunya bernama resmi De Javasche Bank. Sesuai namanya, fungsi gedung tersebut sebagai bank. Pada awal abad ke-19, perputaran uang di Yogyakarta sangat besar dan cepat karena adanya belasan pabrik gula yang tersebar di sekitarnya. Selain untuk menyimpan uang, di masa lalu gedung yang pembangunannya diarsiteki oleh Hulswit dan Cypress ini juga untuk menjaga keamanan sistem kredit.

Di depan gedung Bank Indonesia (Dok. Riana Dewie)

Sempat mengalami naik-turun dalam hal kegunaan, gedung berlantai 3 yang terletak di Jalan Pangeran Senopati kini menjadi bagian kompleks Bank Indonesia, meski sudah tak lagi difungsikan sebagai kantornya. Pernah dibuka untuk umum sebagai museum atau galeri, sayangnya sekarang tidak lagi, kecuali sedang ada event atau pameran.

Penampakan gedung BI dan Kantor Pos di masa lalu (Dok. KITLV Leiden)

2. Kantor Pos

Bersebelahan persis dengan Gedung BI, tempat ini dulunya bernama Post, Telegraaf en Telefoon Kantoor. Memiliki fungsi penting sebagai media komunikasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Dibangun pada 1912 berdasar rancangan para insinyur yang tergabung dalam Burgerlijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum pada masa itu.

Detail bagian depan Kantor Pos di waktu malam (Dok. Pribadi)
Sekarang ada kafenya juga di Kantor Pos (Dok. Pribadi)

Kantor pos kini masih memiliki fungsi sama seperti dulu. Namun, selain sebagai pusat media komunikasi, kini di kantor pos juga melayani jasa-jasa lainnya, misalnya perbankan (BTN). Sebagian kecil kantor pos kini juga dimanfaatkan sebagai gerai kopi atau cafe bernama Kopi Pakpos.


3. Gedung Bank BNI 46

Dulu, gedung yang dirancang oleh Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels, arsitek Belanda kelahiran Tulungagung ini merupakan perusahaan asuransi jiwa bernama Neerlandsch-Indische Levensverzekeringen en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ) yang bekerja sama dengan De Javasche Bank.

Gedung BNI 46 di masa lalu (Dok. jejakkolonial)

Hingga kini, bentuk bangunan gedung ini tidak ada perubahan, indah dengan gaya art deco-nya. Hanya fungsinya saja yang mengalami perubahan, yaitu kini menjadi kantor sebuah bank milik negara, Bank BNI 46. 

Foto diambil pada saat malam yang hujan, bangunannya sama persis seperti dulu (Dok. Pribadi)

Saking indah desainnya, bangunan ini seringkali digunakan sebagai latar atau objek pemotretan, apalagi di malam hari dengan kondisi jalanan yang sepi, dijamin suasana syahdu akan didapatkan.


4. Benteng Vredeburg

Pada awalnya, benteng ini dibangun oleh Sri Sultan HB I di tahun 1760 atas bujukan pihak Belanda dengan alasan sebagai benteng untuk menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Padahal maksud Belanda sesungguhnya agar lebih memudahkan memantau dan mengontrol perkembangan yang terjadi di dalam keraton. 

Saat itu dinamakan Rustenberg dan bentuknya masih sangat sederhana karena hanya memanfaatkan apa saja yang ada di sekeliling. Temboknya dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon aren dan kelapa, sementara bangunan di dalamnya terdiri dari bambu serta kayu, dan atapnya berupa ilalang. 

Benteng dibangun dalam bentuk persegi dengan bastion di empat sudutnya sebagai tempat untuk penjagaan. Oleh Sultan, masing-masing sudut diberi nama Jaya Wisesa di sebelah barat laut, Jaya Purusa di timur laut, Naya Prakosaningprang di barat daya, dan di sudut tenggara Jaya Prayitna.

Kanal yang mengelilingi Benteng Vredeburg (Dok. KITLV Leiden)

Seiring berjalannya waktu, fungsi Rustenberg sebagai benteng pertahanan Belanda semakin kentara, hingga kemudian benteng tersebut berganti nama menjadi Vredeburg bersamaan dengan pembangunan ulang pada tahun 1867 setelah terjadi gempa hebat dan meruntuhkannya. 

Dulunya di sekeliling benteng terdapat parit atau kanal sebagai bentuk pertahanan agar tak mudah dijangkau musuh. Jembatan menuju gerbang benteng pun dulu berupa jembatan kayu jungkat-jungkit yang bisa dinaikkan menjadi posisi berdiri ketika tidak digunakan.

Penampakan sisa kanal saat ini (Dok. Pribadi)
Di tempat kami berdiri, dulunya jembatan jungkat-jungkit (Dok. Riana Dewie)

Vredeburg kini bukan lagi sebagai benteng pertahanan. Oleh pemerintah kota Yogyakarta dialihfungsikan menjadi museum yang berisi diorama-diorama pada masa perjuangan. Museum ini juga sering digunakan sebagai tempat festival seni dan semacamnya. Sedangkan kanal yang dulu mengelilinginya, kini tersisa di bagian depan saja yang lebih mirip kolam ketimbang kanal. Jembatan kayu pun sudah lama berganti sejak tahun 1930-an.


5. Gedung Agung

Dulu merupakan kediaman kepala residen di bawah kepemimpinan Hindia Belanda, lebih dikenal dengan nama Djokjakarta Residentie atau Kantor Karesidenan Yogyakarta. 

Gedung kompleks istana ini mulai dibangun pada Mei 1824 atas prakarsa Anthony Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta ke-18 (1823-1825) dan diarsiteki oleh A. Payen. Kala itu Smissaert menginginkan adanya "istana" yang luas agar menambah kesan wibawa bagi residen-residen Belanda.

Nampak meriah karena bersamaan dengan perayaan kelahiran Wilhelmina, ratu yang menjadi kepala negara Belanda kala itu (Dok. KITLV Leiden)

Istana seluas 43. 585 meter persegi itu kini beralih fungsi menjadi salah satu Istana Kepresidenan sebagai kediaman dan kantor resmi Presiden RI. Gedung Agung juga dibuka untuk umum dengan memenuhi beberapa persyaratan tertentu jika akan mengunjunginya.

Kini sebagai istana negara (Dok. tribunnews)

Setiap peringatan atau perayaan resmi kenegaraan, halaman Gedung Agung digunakan sebagai tempat upacara dan khusus 17 Agustus selain untuk upacara pengibaran serta penurunan bendera, juga rutin diadakan Parade Senja beriringan dengan upacara penurunan bendera.


6. Ngejaman dan GBIP Margo Mulyo

Pernah melihat jam besar di tengah persimpangan jalan selatan Pasar Beringharjo? Orang Jogja biasa menyebut area di sekitar jam tersebut sebagai Ngejaman. 

Dulunya bernama Jalan Margomulyo, dan jam yang dipasang merupakan persembahan warga Belanda terhadap pemerintahnya sebagai bentuk peringatan satu abad kembalinya Pemerintah Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang menguasai Jawa di awal abad ke-19.

Ngejaman di kawasan nol kilometer (Dok. Pribadi)

Jam yang dibuat pada tahun 1916 tersebut kini masih ada dan berdiri kokoh dan masih berfungsi pula. Hanya saja prasasti kecil yang menunjukkan peringatan tadi telah dihilangkan.

Sedangkan Gereja GBIP Margo Mulyo merupakan Gereja Protestan pertama di Jogja yang diperuntukkan beribadah orang-orang Eropa pada masa itu. 

Ngejaman dan Gereja GBIP Margo Mulyo di masa lalu (Dok. KITLV Leiden)

Dibangun pada 24 Juli 1857, gereja ini masih ada hingga kini. Fungsinya pun masih sama sebagai ibadah umat Protestan. Sayangnya, keberadaan para pedagang kaki lima menutupi keindahan bangunan ini, sehingga tak jarang orang yang tidak menyadari keberadaan gereja tersebut, bahkan orang asli Jogja pun.


7. Pasar Beringharjo

Siapa sangka wilayah Pasar Beringharjo dulunya merupakan hutan beringin? Tak lama setelah berdirinya Keraton Yogyakarta di tahun 1758, wilayah pasar ini digunakan sebagai tempat transaksi ekonomi oleh warga sekitar. Ratusan tahun kemudian, tepatnya 24 Maret 1925, Keraton Yogyakarta menugaskan Perusahaan Beton Hindia Belanda membangun los-los pasar.

Beginilah penampakan Pasar Beringharjo di masa lalu (Dok. KITLV Leiden)

Nama Beringharjo muncul pada masa bertahtanya Sri Sultan HB VIII. Nama tersebut dipilih karena memiliki arti wilayah yang semula hutan beringin (bering) dan diharapkan mampu menyejahterakan (harjo). Bagi masyarakat Jawa, pohon beringin memiliki makna lambang kebesaran dan perlindungan.

Pasar Beringharjo kini menjadi pasar besar yang menjadi jujugan (tujuan) orang dari berbagai daerah, bukan hanya dari wilayah DIY tapi juga dari beberapa kota/kabupaten di Jawa Tengah karena kelengkapan dan murahnya harga yang ditawarkan.

Bangunannya pun sangat berbeda dari zaman dahulu. Kini megah dan bertingkat meski tak bisa dikatakan semewah mal, tetapi secara keseluruhan Beringharjo lebih luas.

Beringharjo kini, nampak depan (Dok. mymagz)

Dari tempat-tempat yang disebutkan di atas, manakah yang paling sering dikunjungi atau dilewati? Kalau kamu menetap di Jogja, aku yakin hampir semuanya sering, kan

Memasuki wilayah Malioboro ke utara, masih ada beberapa bangunan Belanda yang tak kalah pentingnya di masa dulu dan kini. Semoga kapan-kapan bisa lanjut membahasnya.

***

**Tulisan ini tayang juga di blog Kompasiana-ku dengan judul sama.

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.