Percayakah, bahwa di setiap jiwa seseorang pasti memiliki keberanian? Bahkan, pada orang yang dikatakan penakut. Misalnya saja, kisah yang pernah kualami bertahun lalu.

Seperti biasa, sepulang kerja aku hampir selalu menggunakan bus kota. Saat naik lewat pintu belakang, mendadak ada segerombolan pria yang mencoba menghalang-halangi jalanku, ada juga yang memegangi kakiku. Sedikit takut, aku mengabaikan mereka, mencoba cuek. Mungkin cuma iseng, pikirku.

Sore itu bus yang kutumpangi lumayan penuh, sehingga aku berdiri karena tak kebagian tempat duduk. Hendak mengecek ponsel, aku meraba saku belakang celana tempatku menyimpannya. Namun, aku tak menemukan apa pun di sana. Ponselku raib. Seketika pikiranku melayang pada segerombolan pria yang kuanggap iseng tadi. Memang suuzon, tetapi aku yakin mereka yang mengambil. Kebetulan posisi mereka berada di belakangku, duduk di kursi panjang dekat pintu. Aku langsung menoleh ke arah mereka.

“Hehh… mana HP-ku?!”

“HP apa, Mbak? Kita nggak tahu apa-apa kok,” jawab salah satunya.

“Halah! Nggak usah bohong. Aku tahu pasti kalian yang ngambil HP-ku, kan? Mana kembalikan!

Gertakan yang tanpa kusadari berani kulakukan tersebut rupanya tak membuat mereka mengaku. Yakali, ada maling ngaku.

Aku belum menyerah, lantas kucoba berteriak melapor pada kondektur.

“Paaakk… itu, lho, mereka ngambil HP saya.”

Masih sia-sia ternyata. Kondektur serta penumpang lain diam seribu bahasa, tak menghiraukan teriakanku. Zaman dulu, bus kota jalur tertentu di Jogja memang sering disusupi pencopet, dan seakan enggan berurusan dengan mereka, sopir dan kondektur memilih tak acuh.
Kenangan di bus kota kopata, puskopkar, aspada, kobutri jogja
circa 2015, detik-detik akhir sebelum bus kota "menghilang" dari jalanan jogja (dok. pribadi)
Entah apa yang menggerakkanku, akhirnya nekat kudatangi gerombolan tersebut. Kutarik baju salah satu dari mereka. Ajaib! Tiba-tiba mereka mengembalikan ponselku.

“Nih, Mbak, HP-nya…” 

Tak lama kemudian, bus tiba di sebuah persimpangan jalan, banyak penumpang turun, termasuk gerombolan pria tadi. Aku pun mendapat tempat duduk. Saat sudah duduk, aku terpekur dan dalam hati mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, 'kok bisa jadi super berani'. Aku heran, karena pada masa itu diriku dikenal sebagai pribadi pendiam dan penakut, yang tak mau berkonfrontasi, trimo ngalah.

Rupanya, motivasi dan kebutuhan bagai dua sisi mata uang. Ketika kebutuhan datang kemudian mendesak, dari sanalah motivasi akan ikut terpompa untuk mewujudkan kebutuhan. Nah, kondisi yang kualami termasuk  dalam kategori mendesak alias kepepet, sehingga tanpa sadar termotivasi untuk keluar dari situasi tersebut.

Kala itu, ponsel masih merupakan barang mewah, setidaknya bagi keluargaku. Seolah, di alam bawah sadarku ada ketakutan  yang lebih besar jika ponselku benar-benar hilang, yaitu dimarahi Bapak. Padahal, beliau tak akan marah seandainya aku kecopetan, namanya juga musibah.  Namun, pada akhirnya justru ketakutan tersebut yang membuatku berani pada sisi lainnya.

Hingga kini, yang masih menjadi misteri bagiku ialah mengapa para pencopet langsung mengembalikan ponsel milikku. Entahlah, random banget mendadak teringat hal itu lagi.

Kalau sekarang? Masih enggan berkonfrontasi atau ribut-ribut, tetapi jika mendesak dan memang tidak bersalah atau di pihak yang benar, apa pun kuhadapi. Dalam sebuah kelompok pun begitu, kalau kami terancam, kemungkinan besar aku yang maju membela. Bedanya, kali ini kulakukan dengan sadar-penuh. Meski begitu, semoga kita semua selalu dijauhkan dari segala bentuk ancaman atau marabahaya, Yagesya!

***

Shalluvia. 2010-2025 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.