Sama seperti saat membaca tema #10daysforASEAN hari keenam, bingung! Bingung mau nulis apa? :( Ya, sekali lagi, aku kembali dibuat bingung setelah membaca tema yang diberikan oleh tim juri. Pada hari kedelapan ini, yang menjadi pokok bahasan adalah Filipina dan Kebebasan Berekspresi: Kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi di negara-negara anggota ASEAN tidak sama. Beberapa negara, termasuk Indonesia, bebas atau longgar dalam hal kebebasan pers dan kebebasan berekspresi bagi para blogger, yang sekarang ini menjadi salah satu alternatif dalam penyebaran informasi atau jurnalis warga. Tetapi ada juga negara yang mengekang kebebasan berekspresi warganegaranya, dan ada negara yang memenjarakan blogger jika tulisannya menentang pemerintahan negaranya. Bagaimana dengan Filipina? Apakah Filipina termasuk negara yang longgar dalam kebebasan berekspresi dan informasi bagi para warganegaranya, termasuk blogger atau jurnalis warga?

Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi di dunia maya sangat maju pesat. Segala sesuatunya bisa didapatkan dengan mudah dan bisa dilakukan dari satu tempat saja, asalkan kita memiliki sambungan internet dan gadget yang menunjang. Termasuk dalan hal mengakses informasi, menjadi semakin cepat dan mudah diperoleh oleh masyarakat. Muncul beragam portal berita online, mulai dari ranah politik yang serius hingga humor yang mampu mendinginkan kepala.

Selain bebas mengakses berita, semua orang juga memiliki kesempatan untuk menulis di dunia maya atau yang sering disebut blogging sebagai istilah kerennya. Dari blogging tersebut, orang bisa menuliskan segala macam uneg-unegnya, entah itu curhat seputar kehidupan pribadi, opini terhadap suatu hal, atau bahkan melaporkan sebuah kejadian menarik yang terjadi di sekitarnya. Dan, bukan tak mungkin kejadian itu kemudian menjadi sebuah berita teraktual di seluruh nusantara maupun di penjuru dunia. Semuanya bisa menyebar dengan cepat melalui dunia maya.  Keberadaan social media atau jejaring sosial seperti facebook dan twitter mampu menyebarkan berita dengan sangat cepatnya. Ditambah lagi dengan adanya mesin pencarian seperti google, yahoo, dan sebagainya.

Di Indonesia, pada era setelah reformasi ini, kita beruntung karena dalam hal mengekspesikan pemikiran dan pendapat termasuk bebas dan dilindungi. Mengapa kukatakan setelah era reformasi? Ya, kerena dulu ketika masa orde baru, tak semua orang bisa bebas mengeluarkan pemikiran, apalagi yang menyangkut dengan pemerintahan. Banyak orang yang dipenjarakan sebagai tahanan politik dikarenakan pemikirannya sangat kritis dan dikhawatirkan akan menggiring masyarakat untuk menjatuhkan pemerintah yang berkuasa.

Masih ingat dengan people power yang pernah terjadi di negara tetangga kita, Filipina? Revolusi yang terjadi di Filipina pada tahun 1983 dan puncaknya di tahun 1986 tersebut juga dikatakan sebagai salah satu contoh kebebasan dalam berekspresi. Warga berdemonstrasi besar-besaran di jalan untuk menyuarakan pendapatnya yang kemudian mampu menggulingkan kediktatoran Presiden yang sedang berkuasa, Ferdinand Marcos. Hal yang menarik dari people power tersebut adalah meskipun disebut-sebut sebagai revolusi besar di Filipina, namun berlangsung damai. Dari sini kita tahu kalau dulu kebebasan berekspresi di negara tersebut sangat dihargai. Lalu, bagaimana dengan sekarang?

No law shall be passed abridging the freedom of speech, of expression, or of the press, or the right of the people peaceably to assemble and petition the government for redress of grievances. ―Article III Section 4 of the Bill of Rights.

Kutipan di atas merupakan bunyi undang-undang yang di dalamnya juga mengatur kebebasan berekspresi di Filipina, baik berekspresi dalam berbicara ataupun  dalam bidang pers/penyiaran.  Sudah jelas kalau di sana, sebuah kebebasan menjadi sesuatu yang sangat dilindungi. Namun, apakah dalam pelaksanaannya sudah benar-benar bebas? Kenyataannya, dunia pers di Filipina 'mengerikan'; banyak kasus yang melibatkan terbunuhnya para wartawan. Di negara tersebut, kekerasan terhadap wartawan  masih saja terjadi dan wartawan merupakan sebuah target pembunuhan.

jurnalis di filipina belum sepenuhnya mendapatkan haknya dalam hal kebebasan berekspresi (blogs.liverpooldailypost.co.uk) 

Banyaknya pembunuhan yang melibatkan wartawan sebagai korbannya, membuat Filipina ditetapkan sebagai salah satu negara berbahaya di dunia bagi para wartawan oleh pengawas pers internasional. Lebih dari 100 wartawan yang tewas terbunuh dalam rentang waktu hampir 30 tahun ke belakang. Maraknya kejadian tersebut, diduga juga terkait dengan banyaknya masyarakat yang dibebaskan memiliki senjata api. Kekebalan hukum juga banyak terjadi di Filipina, membuat para pelaku kriminalitas, termasuk pembunuh wartawan, tak diseret ke pengadilan.

Tahun lalu, dalam komite perlindungan para wartawan (Committee to Protect Journalists/CPJ) yang bermarkas di New York, Filipina dinyatakan sebagai negara terburuk ketiga di dunia dalam memerangi pembunuhan wartawan. Dari hal tersebut, kemudian Pemerintah Filipina mengeluarkan pernyataan akan melindungi para wartawan dan memastikan hukuman seberat-beratnya bagi siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan mereka. Namun faktanya,  Filipina hampir sama tak menunjukkan kemajuan dalam usahanyanya memerangi kasus pembunuhan wartawan.

Kasus pembunuhan wartawan yang teranyar di Filipina terjadi pada akhir bulan Juli lalu. Tiga wartawan tewas dalam pekan tersebut. Diduga, mereka dibunuh terkait dengan tulisannya yang dimuat di majalah tempat mereka bekerja. Adanya kasus tersebut, UNESCO melalui Direktur Jenderal-nya sampai harus mendesak Filipina untuk menyelidiki kasus pembunuhan tersebut dan meminta pihak berwenang setempat untuk mengadili para pelaku.

Pembunuhan terhadap jurnalis adalah serangan langsung terhadap hak dasar kebebasan berekspresi, dan hak masyarakat untuk mengakses informasi. Hal ini membutuhkan respon yang cepat guna menunjukkan kepada mereka yang akan menggunakan rasa takut dan kekerasan untuk membungkam media bahwa tindakan tersebut tidak akan ditoleransi.

Melihat banyaknya kasus pembunuhan wartawan yang terjadi di Filipina sama dengan negara tersebut tidak bisa melindungi hak-hak dasar para wartawan, yaitu hak untuk mengeksprsikan pemikirannya. Undang-undang yang telah ditetapkan serasa sebuah pemanis dasar negara saja dan tak ada artinya. Menuju Komunitas ASEAN 2015, kebebasan dalam berekspresi semoga bisa benar-benar disebut bebas di kalangan masyarakat awam ataupun yang berprofesi di ranah penyiaran. Perlu kerja keras untuk bisa menegakkan pilar-pilar yang menyangkut masalah ini, yaitu pilar keamanan dan pilar sosial-budaya. Mari kita tunggu apakah dengan berjalannya Komunitas ASEAN 2015 kelak, hak berekspresi sebagai warga negara benar-benar dihormati dan dihargai.

***

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.