Kala ingin menonton drakor, tapi bingung memilih judul, biasanya aku menentukan apa yang akan ditonton secara random, berdasarkan siapa pemainnya.
Beberapa waktu lalu, sempat tak bisa move-on dari drama Mr. Queen yang diperankan Shin Hye-sun. Setelah mengikuti drama tersebut, terpikat pada aktingnya, kemudian penasaran dengan drama-drama Hye-sun yang lain. Lantas, pilihan pun jatuh kepada Still 17 atau yang memiliki judul lain Thirty But Seventeen.
Ngefans sama geng ini (dok. SBS)
Oh iya, mau disclaimer dulu, kalau tulisan ini bukanlah sebuah review. Hanya unek-unek yang kurasakan setelah menamatkannya.
Sudah menontonnya lebih dari setahun lalu, tapi kesan setelahnya masih terus terbawa hingga sekarang. Rasanya ikut bahagia banget di ending cerita. Sebenarnya, menonton drama ini lumayan banyak meweknya. Bukan karena menyedihkan, melainkan mengharukan yang bikin hati menghangat. Drama Korea ke sekian yang menurutku underrated. Walaupun secara alur, memang sangat klise dan terlalu banyak kebetulan yang terjadi.
Lebih menyenangkan lagi, di drama yang rilis pada 2018 lalu ini tidak ada tokoh antagonisnya. Tokoh-tokohnya memiliki kerapuhan hati, tapi pada dasarnya berenergi positif dengan cara masing-masing, meskipun ada tokoh yang sempat membuat sebal, masih bisa dimaklumi, lah. Ini memang tipe drama yang cocok untuk healing. Ceritanya ringan,tak butuh banyak berpikir saat menonton.
Dalam drama ini, ada beberapa tokoh yang (ternyata) saling terhubung di masa lalu. Pada masa kini, memiliki hubungan baik tanpa saling mengetahui masa lalu mereka. Meski menghabiskan sebagian besar waktu mereka di rumah yang sama dan memiliki hubungan baik, tak pernah sedikit pun mereka ingin saling mengubah satu sama lain. Namun, kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan, tanpa disadari malah akhirnya menjadi pemicu perubahan masing-masing tokoh. Berubah menjadi lebih baik tentunya.
Jadi teringat, dulu saat perceraian seorang selebgram kondang menjadi trending di Twitter, aku membaca sebuah komentar dari netijen yang intinya menyatakan,
Ketika memutuskan menikah atau menjalin hubungan, jangan bertujuan untuk mengubah tabiat pasangan, pun jangan berharap akan diubah olehnya.
Menurutku, memang tak seharusnya kita memiliki tujuan untuk mengubah seseorang ketika menjalin hubungan. Entah hubungan pertemanan, hubungan romantis, atau hubungan apa pun itu. Kita hanya perlu selalu berbuat baik. Jika kemudian kebaikan yang kita lakukan bisa membuka pikiran orang lain, dan pelan-pelan membuatnya memiliki value hidup yang lebih positif, itu merupakan sebuah bonus.
"Heran, kok tumben Nicholas Saputra mau terima film kayak begitu."
Aku yakin, yang melontarkan kalimat tersebut di sebuah platform media sosial pasti belum menonton filmnya. Hanya menilai dari siapa produser serta tema apa yang diangkat dalam film ini.
Sejak awal mengetahui film Sayap-Sayap Patah sedang diproduksi, langsung bertekad harus menontonnya. Alasannya tentu saja karena Nicholas Saputra menjadi salah satu pemerannya. Dalam film besutan sutradara kondang Rudi Soedjarwo ini, ia memerankan tokoh bernama Sudarmadji yang akrab dipanggil Aji, seorang anggota POLRI di satuan Densus 88. Kebayang kan, bagaimana kerennya seorang Nico mengenakan seragam serba hitam dengan menenteng senjata laras panjang.
Nicholas Saputra sebagai Aji (dok. IG @sayapsayappatahfilm)
Terlepas dari siapa produsernya, film ini layak diapresiasi. Diangkat berdasarkan kisah nyata dari peristiwa yang terjadi pada Mei 2018 lalu, yaitu ketika Mako Brimob Kelapa Dua di Depok rusuh karena ratusan tahanan teroris berhasil melepaskan diri dari sel, kemudian menyandera selama 36 jam beberapa polisi yang sedang bertugas, bahkan ada lima nama yang gugur.
Tak ingin menulis review atau memberikan spoiler tentang film Sayap-Sayap Patah yang tayang sejak 18 Agustus 2022 lalu, aku lebih ingin menyampaikan bahwa di tengah gonjang-ganjing yang terjadi dalam tubuh POLRI, bukan berarti seluruh anggotanya memiliki kinerja buruk.
Sangat dipahami kalau saat ini kepercayaan masyarakat terhadap institusi POLRI sedang nyaris luntur akibat adanya kasus pembunuhan Brigadir J yang direncanakan oleh atasannya sendiri, seorang Jenderal Polisi Bintang 2.
Jujur, aku juga ada rasa kecewa pada lembaga kepolisian, tetapi tak lantas membuatku mengolok-olok mereka. Aku percaya masih banyak polisi yang baik, yang kehidupannya bersahaja dan benar-benar menjalankan tugasnya untuk pengabdian.
Sempat membaca beberapa cuitan di Twitter yang menyatakan jadi malas menonton Sayap-Sayap Patah karena terjadinya kasus Duren Tiga, padahal awalnya mereka penasaran sekaligus tertarik. Banyak yang beranggapan film ini tayang untuk mengembalikan citra baik POLRI, bahkan ada yang berpendapat kalau diangkat dari kisah nyata adalah hoaks belaka.
Hellooo... ke manakaliansewaktu berita kerusuhan di Mako Brimob ramai dibahas? Lagipula, film yang diproduseri Denny Siregar ini proses syutingnya sudah lama. Dijadwalkan tayang 18 Agustus 2022 pun sejak beberapa bulan lalu, jauh sebelum kasus pembunuhan Brigadir J. Ndilalah saja, momen pemutarannya ternyata bersamaan dengan proses pengusutan kasus tersebut.
Aku sempat mengalami perasaan seperti pengguna Twitter tadi, jadi malas menonton meski sangat semangat awalnya. Namun, alasanku berbeda, aku sebal tak diajak nonton bareng oleh Nico saat ia beserta para pemeran dan kru mengadakan early screening di Jogja. Hahaha memangnya siapa kamu, Sha? Sampai Nico harus mengajakmu?
Aji bersama anak buahnya (dok. IG @sayapsayappatahfilm)
Begitulah, memang sekuat itu pengaruh sosok Nico dalam keinginanku menonton Sayap-Sayap Patah. Beruntung, ketika pemutaran hari pertama, ada voucher pembelian tiket beli 1 gratis 1, yang kemudian membuatku kembali memutuskan untuk menonton. Etapi, tak ada promo pun, aku bakal tetap menonton, kok. Mana tega, sih, nyuekin Nico lama-lama. 🤭
Banyak yang awalnya mengira kalau film Mantan Manten merupakan drama romantis berbalut komedi, termasuk aku. Poster film berlatar pink merona dan sepasang (mungkin) kekasih saling berpandangan mesra, lah, yang menggiring ekspektasi tersebut. Nyatanya, saat seminggu lalu aku menonton film produksi Visinema Pictures ini bareng teman-teman KJog, ceritanya memang romantis, pada awalnya saja. Selepas 10 menit berlalu, penonton disuguhi adegan demi adegan yang membuat terenyuh bagi tim baperan sepertiku.
memang romatis, pada awalnya... (dok. tribunnews.com)
Judul Mantan Manten sendiri memiliki makna yang ambigu, bisa berarti mentah-mentah mantan manten (pengantin) atau pernah menikah, bisa berarti juga mantan yang mantenan alias mantan kekasih menikah (dengan orang lain). Hmm... dari awal saja sudah membuat penasaran.
Ialah Yasnina Putri, wanita muda dengan kehidupan serba mewah dan punya segalanya: harta melimpah, karier cemerlang sebagai manajer investasi, serta kekasih bernama Surya Iskandar yang tampan nan setia. Persis seperti yang seringkali digambarkan dalam novel MetroPop yang sesekali kubaca. Hidup Yasnina makin terasa sempurna manakala Surya melamarnya. Kesempurnaan tersebut rupanya enggan berlama-lama mengiringi Nina. Dalam waktu singkat hidupnya porak-poranda dan kehilangan segalanya, setelah partner bisnisnya, Iskandar yang tak lain adalah ayah kekasihnya, memanipulasi usaha yang mereka rintis dan jalankan bersama. Dari situ perjuangan Nina dimulai.
posternya romatis banget (dok. Visinema Pictures)
Diselimuti dendam yang membuncah dalam dada, Nina ingin membalas atas apa yang telah dialaminya. Ia berencana menggunakan satu-satunya hartanya yang tersisa--itupun masih jadi sengketa--sebagai amunisi. Sayangnya, harta tersebut berada jauh dari Jakarta. Ia pun memulai pencariannya, di sebuah desa sejuk dan asri yang terletak di kaki Gunung Lawu, Tawangmangu.
Kesyahduan suasana Tawangmangu membawanya pada takdir yang mempertemukan dengan sosok Budhe Marjanti, seorang perias pengantin tradisional Jawa yang biasa disebut sebagai tukang paes atau pemaes. Budhe Mar ini memiliki kepribadian yang sama kuatnya dengan Nina. Dedikasi dan passion-nya pada profesinya sangatlah total. Niat awal Nina pun terpaksa harus ditahan karena dengan beberapa kesepakatan dan perjanjian, ia malah harus menjadi asisten Budhe Mar yang ternyata merupakan 'lawan' dalam sengketa atas kepemilikan sisa hartanya.
Nina yang biasa hidup di kota metropolitan dan lulusan luar negeri musti tinggal di desa dan melakukan pekerjaan yang sama sekali tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahkan mungkin ia tak pernah berpikir ada pekerjaan yang penuh perhitungan dan ritual tersebut di dunia ini.
perjuangan Yasnna belajar paes (dok. Visinema Pictures)
Tak sampai di situ saja, perjuangan dan pengorbanan Nina semakin berat dengan datangnya masalah yang bertubi menimpa, sementara masalah yang sebelumnya belum selesai. Orang-orang terdekatnya berkhianat dan dianggapnya menusuk dari belakang. Termasuk Surya yang selama ini berjanji berada di sisinya, apapun yang terjadi?
Kalau dibahas juga, sebenarnya spoiler, tapi di beberapa review dan artikel justru banyak yang membeberkannya. Lanjut ke Yasnina lagi, hati dan perasaannya dipermainkan seperti saat naik rollercoaster. Hidup sungguh berat bagi Nina. Ia sempat berputus asa dan lari meninggalkan segalanya, tapi itu hanya sebentar. Ia selalu bisa kembali menata hatinya. Bagi Nina, emosi sesaat boleh saja, karena itu memang harus dikeluarkan, baru kemudian ia mengambil keputusan ulang dengan hati dan pikiran yang sudah jernih.
Puncaknya adalah ketika Budhe Mar yang seiring berjalannya waktu memiliki kedekatan emosinal dengan Nina harus pergi dan meninggalkan 'hutang' yang secara tidak langsung harus dilunasi oleh Nina. Sejenak Nina ingin lari selamanya dari masalah yang mungkin terberat selama hidupnya tersebut. Namun, lagi-lagi ia berhasil menjernihkan pikiran dan menata hatinya. Ia bertekad menghadapi pertarungan tersebut dan memenangkannya. Bukan, pertarungannya bukan untuk melawan orang lain, tapi justru melawan batinnya sendiri. Di bagian sepertiga terakhir itu, aku ikut terhanyut dalam perjuangan Nina untuk memaknai apa itu arti ikhlas.
Yasnina yang telah menguasai ilmu paes, menjalankan tugas pertamanya (dok. Visinema Pictures)
Di pertarungannya, saat Nina mampu tersenyum dengan keikhlasan yang terpancar dari sorot matanya, aku justru merasa merinding. Film dengan skenario yang ditulis oleh sang sutradara Farishad Latjuba bersama Jenny Jusuf ini katanya bergenre drama, tapi di situ aku seolah menonton film horor. Apa yang dialami oleh Yasnina terasa lebih menakutkan dibandingkan hantu-hantu yang muncul dalam film horor yang sering kutonton. Aku tak mampu membayangkan jika jadi Yasnina. Namun, darinya belajar banyak. Wanita itu harus kuat dan mandiri, tak boleh bergantung pada siapapun, meski itu kekasih atau suamimu.
Dari Yasnina juga aku belajar apa itu ikhlas yang sesungguhnya. Mungkin pada awalnya Yasnina pun tak bisa memaknai apa itu ikhlas, tetapi kedekatan dan interaksi dengan Budhe Mar membawanya menjadi pribadi yang lebih matang.
Akhir film ini bisa disebut sad ending, namun bisa juga dikatakan happy ending. Meski tak begitu mengejutkan karena banyak clue, plot twist dalam film ini lumayan mengaduk perasaan.
belajar dari Nina, masalah ada bukan untuk ditinggal lari, tapi untuk dihadapi dan diselesaikan
Secara garis besar, aku memang hanya menampilkan kisah Yasnina di artikel ini, tapi sejujurnya sosok Budhe Mar pun mencuri perhatian. Di kehidupan yang semakin modern ini, profesi tukang paes mulai tak diminati, beralih ke profesi yang lebih kekinian, make-up artist atau lebih sering disebut dengan singkatannya MUA. Di sini, Budhe Mar memiliki niat mulia, ingin melestarikan profesi yang sebenarnya mengandung nilai-nilai luhur tersebut. Dunia paes dinilai oleh beberapa pihak sudah ketinggalan zaman dan tidak praktis alias ribet karena harus menjalanan berbagai prosesi serta ritual khusus.
Bagiku sendiri, paes yang lekat dengan pernikahan adat Jawa justru mengingatkan pada belasan tahun lalu saat masih duduk di bangku SMA dan mendapat tugas Antropologi, kelompokku memilih mengangkat tema tersebut. Ketika dalam film ini membahas lebih detail tentang kehidupan paes dan ritual-ritual yang dijalankan, baik oleh si pemaes ataupun oleh sepasang pengantinnya, aku merasa tak asing, bahkan dengan makna di baliknya.
Alasanku ingin menonton film ini salah satunya karena kental dengan nuansa adat Jawa. Orang Jawa itu nampaknya ribet dan banyak ritual, tapi begitulah salah satu cara mereka menyampaikan permohonan dan menyampaikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.
suka banget dengan chemistry antara Nina dan Budhe Mar ini...
Tutie Kirana lewat Marjanti berhasil menghidupkan sosok tukang paes seperti yang selama ini kutahu--tetanggaku ada dua orang yang berprofesi sebagai tukang paes, yaitu tegas dan saklek (berpendirian atau berprinsip teguh).
Dalam film ini, kali pertama menyaksikan akting Atiqah Hasiholan di layar lebar. Duh, Mbak, gara-gara aktingmu, aku sungguh menjura pada Yasnina, karakternya kuat banget. Akting Arifin Putra sebagai Surya cukup disebut lumayan, mungkin karena ia jarang muncul. Masih mending Marthino Lio sebagai Ardy, asisten Yasnina yang kemudian menjadi sahabatnya.
Oh iya, ketimbang chemistry antara Nina dan Surya yang katanya sepasang kekasih itu, aku lebih suka chemistry antara Nina dengan Budhe Mar yang lebih merasuk dalam jiwa. Hubungan Budhe Mar dan Nina ini unik... sebal, benci, sayang, dan hormat menggenapi ikatan yang bisa disebut sebagai antara guru dan murid, pun antara ibu dan anak (ketemu gede). Tio Pakusadewo sebagai Iskandar jangan ditanya kualitas aktingnya, menurutku ia selalu berhasil memerankan karakter yang menyebalkan.
Ada juga Dodit Mulyanto sebagai Darto tetangga Budhe Mar yang kocak, namun di sini celutukan-celutukan konyolnya kurang total karena memang tidak ada 'lawan', sekadar memenuhi syarat tak tertulis kalau dalam film harus ada sisipan adegan komedinya. Banyak juga aktor terkenal yang menjadi cameo dalam film ini, mulai dari si ganteng Ben dalam Filosofi Kopi hingga Michael Villareal, mantan suami Sophia Latjuba. Ada juga Asri Welas yang aku bingung dalam film ini sebenarnya sebagai pemeran pembantu atau cuma cameo.
Untuk kamu yang belum bisa move on dari berbagai masalah, film ini patut ditonton sebagai penyemangatmu, bahwa setiap masalah selalu ada jalan keluar. Move on bukan berusaha melupakan, tapi berusaha mengikhlaskan. Dan, seperti kata Budhe Mar yang kurang lebih begini,
Kisah orang itu beda-beda, jangan membandingkan diri sendiri dengan pengalaman satu orang saja. Jadinya akan susah bersyukur.
Sepakat banget sama Budhe Mar, saat mengalami masalah, seringnya kita merasa jadi yang paling malang di dunia ini, padahal kalau mau melihat, di luar sana banyak orang dengan masalah yang lebih berat. Hanya dengan bersyukur serta percaya dan yakin pada diri sendiri, kita mampu menyelesaikan masalah yang menimpa.
Mumpung masih diputar di bioskop, yuk temui Yasnina dan Budhe Mar juga, biar kamu jadi lebih setrong.
Belum pernah membaca versi webtoon-nya membuatku sedikit meremehkan film yang pada penghujung Januari 2019 lalu menjadi pilihan dalam acara nonton bareng teman-teman Kompasianers Jogja (KJog). Bukan apa-apa, selama ini sangat jarang menonton film remaja, dengan alasan paling juga ceritanya mirip FTV yang gitu-gitu saja. Seperti itu juga yang kupikirkan saat mendapat tawaran menonton Terlalu Tampan, film besutan sutradara muda Sabrina Rochelle Kalangie.
poster film Terlalu Tampan (dok. IG @filmterlalutampan)
Tak ingin terjebak dalam penilaian tersebut, akhirnya sebelum filmnya tayang di bioskop, aku mulai mencari tahu... film apa, sih, yang akan kutonton ini? Ternyata film ini diadaptasi dari webtoon yang pada masa beredarnya berhasil meraup jutaan pembaca.
Saat aku bercerita pada seorang teman kalau akan menonton film Terlalu Tampan, tanpa disangka, ia mengikuti webtoon-nya hingga tamat. Dengan semangat ia membeberkan versi webtoon yang sungguh kocak dan absurd. Lantas mengalirlah dari mulutnya beberapa adegan konyol yang membuatku ikut terbahak. Baiklah, dari situ dan setelah mengintip trailer-nya, aku mendapat sedikit gambaran tentang film produksi Visinema Pictures yang rupanya tak bertema tentang percintaan drama remaja kebanyakan.
Berkisah tentang seorang remaja yang biasa dipanggil Kulin dengan segala problematika kehidupannya yang absurd. Keabsurdan hidup Kulin dimulai dengan nama-nama anggota keluarganya. Kulin yang bernama asli Witing Tresno Jalaran Soko Kulino, merupakan remaja 17 tahun yang sedang mengalami krisis percaya diri karena ketampanannya. Bapaknya bernama Archewe Johnson dan biasa dipanggil Pak Archewe yang kalau disambung dan dipenggal di bagian tertentu jadi terdengar pakar cewe(k), sesuai dengan kharismanya yang selalu membuat para cewek klepek-klepek.
Kemudian, ada Bu Suk sebagai ibunya yang bernama lengkap Jer Basuki Mawa Bea, satu-satunya wanita yang bisa menaklukkan Archewe karena kecuekannya. Ada satu lagi anggota keluarga Kulin yang menurutku namanya paling "normal" meski kemudian panggilannya agak gimana gitu... ialah Okisena Helvin sebagai saudara satu-satunya Kulin yang biasa dipanggil Mas Okis, kakak yang di webtoon merupakan adik Kulin ini juga memiliki ketampanan hakiki, namun berbeda dengan Kulin, ia sangat fasih "memanfaatkan" ketampanannya untuk mendapatkan cewek-cewek.
Punya wajah tampan atau cantik bisa dikatakan sebagai salah satu impian setiap remaja, agar bisa mendapat perhatian lebih dari orang-orang di sekelilingnya. Nah, Kulin yang tampannya keterlaluan ini justru risih dengan kelebihan yang dimilikinya tersebut. Bukan tanpa alasan Kulin bisa mendapatkan ketampanan yang dikisahkan mampu membuat para lawan jenis--entah tua atau muda--mimisan saat memandangnya. Kulin memang dilahirkan dari keluarga tampan.
Iya, selain bapaknya yang tampan, ibunya pun memiliki wajah tampan. Bahkan di webtoon, Bu Suk benar-benar digambarkan berwajah lelaki tampan tetapi berambut panjang. Pas banget diperankan oleh Iis Dahlia, yang dalam beberapa adegan, kumis tipisnya membuat gagal fokus. Bu Suk dulunya cantik, menjadi tampan karena ia menggunakan formalin sebagai sabun cuci mukanya. Hahahahaha... absurd banget, kan? Adegan itu tak akan dijumpai dalam film, karena hanya ada di webtoon.
potret keluarga tampan (dok. IG @bioskop)
Hari-hari Kulin dihabiskan dengan mengurung diri di rumah. Sekolah di rumah, main di rumah, apa-apa di rumah. Bisa dibayangkan, bagaimana susahnya hidup Kulin. Biasanya orang merasa tak percaya diri saat punya kekurangan. Begitu pun Kulin, ia sama tak percaya dirinya seperti orang-orang yang memiliki kekurangan. Bedanya, Kulin tak percaya diri karena kelebihannya. Ia merasa tak aman dan merasa terancam akan efek yang ditimbulkan jika lawan jenis melihat wajahnya. Sampai-sampai, saat harus ke warung karena diminta Bu Suk membeli sesuatu, ia harus mengenakan masker agar ibu-ibu kompleks tidak kejang-kejang atau mimisan.
Tak ingin Kulin selamanya menjadi pribadi yang minder, kedua orang tua serta kakaknya terus mencari cara agar Kulin mau keluar dari tempurungnya, meninggalkan zona nyaman dan menghadapi apa yang menjadi ketakutannya selama ini. Setelah berbagai cara dicoba, akhirnya dengan rencana yang matang dan tentu saja absurd, keluarganya mampu membuat Kulin mau bersekolah di sekolah reguler pada semester terakhir masa SMA-nya.
perlindungan pertama agar cewek-cewek tak mimisan melihat ketampanan Kulin (dok. IG @andreansyahdwpg)
Dari sini pertualangan Kulin bermula. Mulai dari mendapat perlakuan buruk oleh geng sekolah 3-TAK di hari pertama masuk sekolah hingga kemudian mendapat sahabat-sahabat seperti Kibo dan Rere yang bisa menerimanya sebagai orang biasa, bukan karena ketampanannya. Ada juga Amanda si Terlalu Cantik dari sekolah sebelah yang berbeda 180 derajat dengan Kulin dalam menyikapi kelebihannya.
Kisah keluarga, persahabatan, dan percintaan menjadi bumbu-bumbu dalam film ini, masing-masing takarannya pas sehingga enak untuk dinikmati.
Di sebuah adegan, aku sebal pada Kulin saat ia melakukan perbuatan curang terhadap sahabat yang telah menganggapnya sebagai keluarga, demi bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Halah, ternyata ia seperti remaja (tampan) kebanyakan yang menghalalkan berbagai cara untuk kesenangannya.
Namun, apakah Kulin benar seperti itu? Apakah ia berubah egois ketika merasa sudah bisa berbaur dengan orang lain? Ini, sih, wajib dicari jawabannya dengan menonton filmnya, karena ternyata film ini berbeda dengan film remaja lain yang seringnya berakhir happy ending dengan alur yang mudah ditebak tanpa ada plot twist.
Sekilas, film ini memang komedi remaja yang penuh hal receh, tapi sebenarnya banyak pesan yang diselipkan. Dukungan keluarga dalam tumbuh kembang anak sangatlah penting, meski dalam film ini digambarkan cara yang dilakukan Pak Archewe dan istrinya tergolong absurd. Wajar, yaa... kan mereka memang keluarga absurd. Namun yang pasti, tujuan mereka baik, untuk mendorong Kulin menjadi pribadi yang lebih mandiri, karena tak mungkin selamanya bergantung pada orang tua atau kakaknya.
Lewat Kulin, film ini pun berpesan agar para remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri berani untuk mendobrak ketakutannya dan berani menjadi diri sendiri dengan kelebihan serta kekurangannya. Tinggakan zona nyaman untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih berharga dan jangan pedulikan omongan orang lain tentang kita, karena seringnya mereka menilai dari luarnya saja.
Melalui film ini juga, penonton akan disuguhi manisnya persabahatan antara Kulin dan Kibo. Jarang-jarang ada film remaja yang sukses menampilkan chemistry persahabatan antar lelaki. Dalam Terlalu Tampan, sang sutradara sukses menciptakan bromance Kulin-Kibo, sampai-sampai saat mereka terlibat konflik, sakit hati yang dirasakan salah satunya ikut kurasakan. Sakit, tapi takberdarah. Di sini, kesetiakawanan dua remaja ini diuji, dan apakah mereka berhasil melewati konflik tersebut? Lagi-lagi harus menonton filmnya untuk tahu jawabannya.
mencuci baju bersama... bromance yang sangat manis antara Kulin dan Kibo (dok. IG @andreansyahdwpg)
Sepanjang film, aku disuguhi adegan absurd nan konyol yang berhasil membuat tak henti terbahak. Sungguh, keabsurdan yang terlalu menghibur. Ditambah lagi dengan banyaknya visual effect yang sengaja dibuat lebay (in a good way) khas komik, membuatnya kian renyah. Yang tak luput dari perhatian juga adalah outfit yang selalu cerah serta warna-warni, menjadikan film berdurasi sekitar 100 menit ini semakin menyenangkan dan memanjakan mata. Untuk bagian latar, aku paling suka pada rumah omanya Kibo yang bergaya shabby penuh kehangatan.
Dari segi pemeran, hampir seluruhnya tampan dan cantik. Serasa nonton film drama Korea pokoknya. Tak sekadar enak dilihat, mereka juga mampu menghidupkan karakter yang sebelumnya hanya ada dalam komik. Jika banyak penonton remaja tergila-gila pada Ari Irham pemeran Kulin yang memang super tampan--saking tampannya malah terlihat cantik, aku justru terpesona pada Marcelino Lefrandt pemeran Pak Archewe, yang pesonanya tak pudar sedikit pun sejak jadi papanya Lala di sinetron Bidadari. Maklum, di sini seleranya sudah menyangkut usia. #ehh
Kulin dan teman-teman di kelasnya (dok. IG @andreansyahdwpg)
Calvin Jeremy sebagai Kibo dan Rachel Amanda sebagai Rere, cukup mencuri perhatian dengan karakternya yang simpel tapi kuat. Seperti biasa, Nikita Willy sukses berakting sebagai karakter yang ceritanya jauh lebih dewasa dari usia sebenarnya, yaitu Amanda si Terlalu Cantik, anak SMA yang glamornya melebihi tante-tante. Yang tak kalah menyita perhatian adalah Tara Budiman sebagai Okis dan Dimas Danang sebagai Sidi (ketua geng 3-TAK) yang di kesehariannya memang lekat dengan karakter koplak dan kocak.
Bayangan film remaja yang penuh drama percintaan ala FTV seketika sirna dalam banyanganku, berganti menjadi acungan jempol untuk film pertama yang diadaptasi dari komik di Indonesia ini. Menonton film ini tak butuh energi lebih untuk mencerna jalan ceritanya, karena justru sangat cocok untuk melepas stres atau lelah karena kesibukan sehari-hari yang selalu memburu.
Berniat melepas penat dengan menonton Terlalu Tampan juga? Pastikan kalian tak tertular dengan keabsurdan mereka, ya. Hihihi...
***
**Tulisan ini tayang juga di blog Kompasiana-ku dengan judul sama.
Jika biasanya menonton film bergenre horor, fantasi, atau animasi, maka pada 2019 ini aku mengawalinya dengan menonton film bergenre drama. Selama ini agak menghindari film drama untuk ditonton di bioskop, terutama yang berkisah seputar keluarga. Aku orangnya super sensitif. Jangankan melihat sesuatu yang menyedihkan, menyaksikan kebahagiaan saja bisa membuat terharu. Tepat, aku enggan mewek di biskop, karena harus jaim, tak bisa menangis secara totalitas. Berbeda saat menonton di depan laptop, mau mewek sampai sesenggukan, mah, bebas, tak bakal ada yang tahu. Hahaha.
dari sini keluarga cemara menciptakan bahagianya lagi (dok. IG @filmkeluargacemara)
Gencarnya promosi film KeluargaCemara sejak tengah tahun lalu membuatku penasaran, apakah film ini akan sebagus sinetron yang pernah menjadi favoritku belasan tahun lalu. Saat ada info Keluarga Cemara masuk deretan film yang akan diputar di festival tahunan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), langsung bertekad harus menontonnya. Malangnya, aku belum berjodoh dengan keluarga Abah dan Emak. Selama JAFF berlangsung, aku justru berada di luar kota. Jadilah musti bersabar menanti film ini resmi diputar di bioskop pada Januari 2019.
Kemalangan memang tak dapat ditolak, begitu pun dengan keberuntungan. Sempat merencanakan akan menonton Keluarga Cemara pada akhir pekan lalu, ehh... malah dapat ajakan untuk nonton di hari pertama pemutaran, 3 Januari 2019. Siapa yang sanggup menolak?
Keinginan bernostalgia pada masa menjelang remaja menjadikan film Keluarga Cemara pengecualian untuk tidak ditonton di bioskop. Sekitar dua dekade lalu, serial Keluarga Cemara seolah menjadi potret paling tepat untuk menggambarkan kondisi keluargaku yang serba pas-pasan. Melihat Euis serasa berkaca pada diri sendiri. Sama-sama sulung dari tiga bersaudara dengan dua adik perempun, sama-sama harus bersabar dan mengalah untuk tidak menuruti keingininan diri sendiri demi adik-adiknya serta menjaga perasaan orang tua, pun sama-sama membantu perjuangan kedua orang tua demi asap dapur tetap mengepul.
Banyak kesusahan keluargaku di masa itu yang kalau dikenang atau dibicarakan kembali pada saat ini menjadi hal yang menggelikan. Pada babak kehidupan tersebut, sejauh ini bagiku merupakan masa yang tersulit, tapi juga banyak mengajarkan berbagai hal baik, salah satunya selalu berpikir positif yang terus terbawa hingga sekarang.
Dari jalan ceritanya, film Keluarga Cemara versi milenial ini tentu saja jauh berbeda dengan versi 90an dulu. Banyak adegan disesuaikan dengan kondisi yang seringkali terjadi di masa kini. Ya, ya, di bagian awal juga sudah disebutkan kalau film besutan sutradara Yandy Laurens ini merupakan adaptasi novel karya Arswendo Atmowiloto.
Oh iya, novel Keluarga Cemara yang kubaca ketika sudah dewasa pun kisahnya tak kalah menyedihkan, lho, malah jauh lebih menguras air mata. Kembali ke filmnya lagi, meski dari alurnya jauh berbeda, tetapi kisah yang diangkat masih sesederhana dulu, tentang perjuangan sebuah keluarga dalam menciptakan bahagianya, bagaimanapun kondisi yang sedang dialami.
Kehidupan boleh di zaman modern, tetapi pola komunikasi dalam keluarga dan pembagian peran gender Abah dan Emak tetap dengan cara tradisional, di mana Abah sebagai penanggungjawab nafkah keluarga serta Emak sebagai ibu rumah tangga yang tetap melakukan tugas-tugas domestik. Ketika kemudian Emak mau-tak mau harus turut serta membantu Abah untuk mendapat penghasilan tambahan, Abah yang biasanya sabar serta tegar, pada satu titik merasa bersalah dan gagal sebagai laki-laki karena telah membuat istri dan anak-anaknya menderita. Ada sebuah adegan, yang menurutku merefleksikan pentingnya penyaluran emosi seorang laki-laki untuk mengurangi beban serta rasa bersalah yang dirasakannya. Dua jempol terangkat untuk akting Ringgo Agus Rahman yang begitu menghayati perannya, membuat lupa kalau selama ini ia lekat dengan peran-peran konyol.
Kebersamaan dan kekompakan yang dibentuk oleh Abah dan Emak sejak awal pernikahan (mungkin), kemudian diterapkan juga pada anak-anaknya, Euis dan Ara, membuat keluarga ini memiliki kekuatan berupa saling mendukung dan menyemangati satu sama lainnya ketika kehidupan tak lagi 'bahagia', jika kebahagiaan itu hanya diukur dengan materi. Namun tidak bagi keluarga kecil ini, kebahagiaan tak melulu diukur dengan banyaknya materi. Pada awalnya memang sulit bagi mereka, harus menjalani kehidupan yang berubah drastis, dari yang serba berlimpah menjadi serba kekurangan.
asalkan bersama keluarga, semua akan baik-baik saja (poster film)
Di sini juga tak apa asalkan saling punya Begini juga tak apa karena kita bersama Percaya saja akhirnya Satu hari nantinya Semua ini akan jadi cerita yang indah... (OST. Keluarga Cemara, Karena Kita Bersama oleh BCL)
Keluarga merupakan tempat belajar dan menempa diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih keras di luaran sana. Suka dan duka datang silih berganti seiring berjalannya waktu. Keluarga Cemara memberikan contoh bagaimana menyelesaikan masalah dalam keluarga dengan hati yang gembira, bagaimana komunikasi yang baik antara orang tua kepada anak-anaknya--pun sebaliknya, kita jadi tahu berbagai pemikiran dari sudut pandang berbeda dalam keluarga: sudut pandang seorang ayah, ibu, kakak, adik.
Kita pun mendapat pelajaran dalam bersikap saat menghadapi lika-liku problematika berkeluarga lewat sosok masing-masing anggota keluarga. Abah yang selalu mengayomi, melindungi, dan selalu ingin hadir untuk anak-anak perempuannya; Emak yang selalu sabar, setia, tegar dan bijak dalam setiap menghadapi konflik. Euis yang meski masih penuh gejolak khas remaja tapi bisa mengalah pada adiknya dan mau membantu orangtuanya; serta Ara dengan kepolosan dan keceriaannya selalu mengajarkan pada orang dewasa bahwa 'hidup tak seserius itu'. Tak melulu berkutat pada kehidupan keluarganya Ara, film berdurasi 120 menit ini menghadirkan tokoh-tokoh lain yang menjadikan jalan cerita semakin berwarna.
Para pemeran dalam film ini mampu menjelma perannya masing-masing dengan sangat apik dan natural. Super gemas pada Widuri Sasono yang sukses menghidupkan kembali tokoh Ara. Nirina Zubir dan Zara JKT48 yang aslinya berkepribadian ceria pun berhasil menjelma Emak dan Euis, dua perempuan tegar yang pada banyak adegan mampu membuat penonton merasakan perjuangan mereka.
Tak ketinggalan, para pemeran lain pun berhasil menjadi penyeimbang agar film produksi Visinema Pictures ini tak terus-terusan membuat air mata berderai, tapi juga menyuguhkan adegan-adegan yang mengundang gelak tawa. Meski menurutku, tetap lebih banyak meweknya dibanding tertawanya. Kalau air mata bisa menjadi simbol kebahagiaan, inilah kisah itu.
semua akan kembali ke keluarga, pada saatnya... (dok. IG @filmkeluargacemara)
Sekali lagi, film Keluarga Cemara ini ingin memberikan pesan bahwa keluarga bahagia tak bisa diukur dengan banyaknya materi yang dimiliki. Bahagia bisa muncul dari kebersamaan dan saling mendukung, dua hal yang sangat penting dalam membangun ketahanan keluarga. Ketahanan dan keutuhan keluarga harus selalu diperjuangkan, karena keluarga adalah harta yang paling berharga, dan dalam kondisi apapun... kita pasti akan kembali ke keluarga.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, lho ke mana si bungsu Agil? Dulu Ara punya adik, kan? Kok, anaknya Emak dan Abah cuma dua? Daripada penasaran terus, mending langsung pesan tiket lewat smartphone atau antre di loket juga tak masalah. Boleh ajak siapa saja, filmnya amaan... dan ingat, judulnya Keluarga Cemara. Jangan sampai keliru, ya!
Bloger asal Jogja ini suka memandang hujan, tetapi lebih sering berbinar karena langit biru. Gemar mendengarkan musik, tetapi tidak dengan menyanyi. Kadang jalan-jalan, kadang menonton film/serial, kadang membaca buku, dan mencoba untuk rutin menulis. Apabila ada pertanyaan atau penawaran kerja sama, silakan kirim surel ke mesha.christina@gmail.com.