Sebelum berperang melawan Arjuna di hari ke-17 perang Bharatayudha, Radheya sepintas bercakap dengan sais keretanya yang tak lain adalah ayah mertuanya sendiri, Salya...

"Tiba-tiba kereta ini berat. Apa yang ada di kepalamu?"

"Aku tahu Ayah mencintaiku, meski dengan caramu yang aneh."

"Siapa bilang?"

"Kau hanya berharap aku adalah anakmu, bukan menantu."

"Hahaha... Kau sangat percaya diri."

"Haha. Tentu saja. Karena akhirnya aku mendapatkan sais kereta terbaik untuk perang hari ini."

"Hah. Tahu apa kau?"

"Kau sebanding dengan Kresna, sais Arjuna."

"Bukan sebanding. Kami sama. Sama-sama ingin Arjuna menang. Kaget?"

"Tidak Ayah. Itu sudah kualami di sepanjang hidupku. Aku hanya ingin mengakhiri ini di samping orang-orang yang tepat."

"Karna, kemarilah. Aku ingin mengelus rambutmu."

arca yang menggambarkan radheya dan salya (via: andi muhlis on flickr)

Bukan rahasia lagi kalau Radheya dan Salya memiliki hubungan yang tak harmonis, meskipun keduanya merupakan menantu-mertua.

Suatu ketika dalam kisah wayang ada sosok bernama Salya. Dia adalah raja besar, sangat mencintai istri dan anak-anaknya, teguh menjaga pendirian hidupnya, dicintai rakyatnya. Diujung perjalanan hidupnya memang kemudian dia memilih memihak Kurawa. Tapi kita sedang tidak membicarakan pilihan dia mengapa memihak Kurawa. Saya ajak anda mencoba melihat bagaimana seorang Salya mengelola tarik-ulur sikap kepada menantunya. Bernama Karna.

Karna adalah seorang adipati yang cakap. Karirnya begitu cemerlang. Hanya dalam waktu singkat dia dipercaya dan disegani oleh seluruh angkatan perang negri Hastinapura. Awal perjalanan hidupnya memang dia dikenal sebagai anak kusir. Sebuah karakter yang pasti diluar peta politik elit akan menjadi penentu sebuah kebijakan negri. Termasuk Salya sang raja besar yang suatu saat pernah meragukan Karna akan mampu memimpin pasukan. Membuat Karna tersinggung tak berkesudahan. Di depan Salya dia selalu bersikap keras dan cenderung menentang. Sementara Salya yang jauh lebih senior untuk urusan ini cenderung kokoh berdiri pada pendirian sikap. Tanpa ragu membenarkan Karna bila dia memang benar, suatu ketika juga mengkritik pedas Karna bila menantunya itu dinilai salah. Seperti juga Salya yang dengan lapang dada mau menerima Karna menjadi menantunya, karena memang itu pilihan putrinya.

Dan begitulah hubungan Salya dan Karna memang dilihat tak pernah indah. Mereka selalu mengambil jarak. Selalu menyimpan bara dalam sekam terhadap banyak hal. Memuncak sampai suatu ketika menjelang Baratayudha, Karna memutuskan dengan lantang agar Salya, sang mertua menjadi kusir keretanya. Banyak orang menilai itu sebagai penghinaan, tapi Salya menerima. Berujung pada saat di medang perang, Salya justru beberapa kali mengambil sikap yang merugikan Karna. Tapi Salya melihat itulah kebenaran yang dia pegang. Sementara Karna juga merasa Salya lebih banyak menjadi pengganggu daripada membantunya mengendalikan kereta perangnya saat perang tanding terjadi. Tapi Karna juga sadar bahwa Salya adalah pilihan terbaik sosok yang mampu mengendalikan keretanya.

***

**Percakapan diambil dari: twitter Om Dalang, Nanang Hape.
**Artikel diambil dari: kompasiana novelis wayang, Pitoyo Amrih