bangga menjadi abdi budaya (dok. muchroji.multiply.com)
Jogja istimewa tak sekadar julukan, tapi juga orang-orangnya. Ada berbagai keistimewaan orang Jogja, salah satu yang patut dijadikan teladan adalah kesederhanaan, kesetiaan―dalam mengabdi―dan kebersahajaan para abdi dalem.

Kita tahu Jogja merupakan sebuah wilayah yang masih begitu kental dengan adat dan budayanya, juga kaya dengan kearifan lokalnya. Apalagi di Jogja berdiri sebuah keraton bernama Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dipimpin oleh seorang Sultan. Warga Jogja sangat menghormati dan ngawula terhadap Sultannya. Hampir setiap orang Jogja tulen memiliki keinginan untuk mengabdi kepada keraton, namun tak setiap orang memiliki kesempatan tersebut. Abdi dalem sudah ada sejak berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1755.

Menjadi abdi dalem harus bisa nrimo ing pandum dan mampu menjalankan apa yang sudah didhawuhkan.

Menjadi abdi dalem berarti juga "rela" digaji dalam jumlah yang sangat kecil―bisa dikatakan tak layak. Bagi sebagian orang, hal tersebut merupakan salah satu bentuk feodalisme. Namun, tidak bagi para abdi dalem itu sendiri. Mereka bahagia dan bangga bisa mengabdi kepada keraton, dengan bayaran besar ataupun kecil. Bahkan jika tak dibayar sekali pun. Karena itulah arti pengabdian yang sesungguhnya, tak pernah mengharapkan imbalan.

Abdi dalem keraton secara garis besar dibagi menjadi dua macam, abdi dalem Keprajan dan Punokawan. Yang menjadi abdi dalem Keprajan biasanya orang-orang yang duduk di pemerintahan (PNS), memiliki jabatan penting atau orang terpandang di Jogja.

Mereka boleh mengajukan diri menjadi abdi dalem, dengan catatan tidak digaji dan wajib mengikuti upacara-upacara adat yang diadakan oleh Kraton, seperti garebeg, ngabekten, miyos/kondur gangsa, dan sebagainya. Tingkatan pangkat atau kedudukan abdi dalem Keprajan di antaranya adalah jajar, mantri, lurah, panewu, wedono, riyo bupati anom, bupati anom, bupati, bupati sepuh, bupati nayoko, dan kanjeng pangeran haryo.

para abdi dalem keprajan, salah satunya adalah walikota jogja herry zudianto (dok. jogjanews.com)
Sedangkan abdi dalem Punokawan adalah mereka yang menjadi abdi dalem dari golongan masyarakat luas atau warga biasa. Untuk bisa menjadi abdi dalem mereka harus mengajukan lamaran terlebih dahulu, sama seperti pekerjaan lainnya. Setelah diterima mereka akan mendapatkan pangkat dan kedudukan yang bisa naik, mulai dari magang, jajar, bekel enom, bekel sepuh, lurah enom, lurah sepuh, penewu, wedono, riyo bupati anom, bupati anom, bupati kliwon, hingga yang paling tinggi bupati nayoko dan kanjeng pangeran haryo .

Punokawan terbagi menjadi berbagai macam profesi dalam menjalankan tugasnya. Mulai dari abdi dalem sebagai pemandu wisata, prajurit, pengurus kuda, tukang masak, penari, tukang nembang, ulama, penjaga gunung, penjaga pantai, dan sebagainya.

Dahulu, mereka memiliki wilayah tempat tinggal sesuai dengan pekerjaannya. Misalnya saja Patehan (tempat abdi dalem pembuat teh), Gamelan (tempat abdi dalem pengurus kuda), Mantrigawen (tempat para mantri), dan sebagainya. Kini kampung-kampung tersebut masih ada, namun warganya bukanlah abdi dalem.

para abdi dalem punokawan (dok. ada-akbar.com)
Untuk kenaikan pangkat kedua abdi dalem tersebut, berlaku setiap empat tahun sekali dan memenuhi daftar hadir yang sudah ditentukan atau mengikuti sowan bekti untuk abdi dalem Keprajan, dan caos untuk abdi dalem Punokawan. Sebenarnya istilah sowan bekti dan caos itu hampir sama, yaitu duduk pada tempat tertentu, untuk tujuan tertentu, dan dalam jangka waktu tertentu. Mungkin istilah lainnya adalah giliran jaga atau piket.

Dalam menjalankan tugasnya, abdi dalem tidak datang setiap hari, namun ada jadwal khusus. Waktu yang paling lama adalah setiap 12 hari sekali. Jadi kalau ada yang mengatakan sistem abdi dalem di keraton merupakan perbudakan dengan kedok budaya itu salah besar.

Beberapa orang memang memiliki pemikiran, menjadi abdi dalem merupakan pekerjaan sia-sia, dengan gaji yang tak lebih dari Rp50.000,00 setiap bulannya, bagaimana bisa mereka menghidupi keluarganya?

Ketika suatu siang mendapat kesempatan berbincang dengan salah satu abdi dalem keraton bernama Mbah Sadiman, beliau mengatakan,

Menjadi abdi dalem itu bukanlah suatu pekerjaan, melainkan pengabdian. Dan saya sebagai abdi dalem tak pernah merasa kekurangan. Bahkan saya bisa menyekolahkan anak-anak saya sampai sarjana. Rejeki itu akan datang dengan sendirinya.

suatu siang ketika berbincang dengan mbah sadiman (dok. pribadi)
Berbeda lagi ketika berbincang dengan Pak Yuri, salah satu prajurit keraton yang ditemui selepas upacara Garebeg Besar di Pratjimosono. Beliau berbagi cerita bahwa para prajurit yang juga merupakan abdi dalem tersebut memiliki profesi lain yang berbeda-beda. Ada dosen, guru, laboratorian, dokter hewan, PNS, pensiunan, penjual es cendol, bahkan tukang tambal ban.

Ketika menjadi prajurit semuanya sama, mengabdi untuk keraton sebagai abdi budaya. Kemudian mereka akan mendapatkan paring dalem yang jumlahnya sama juga, Rp3.000,00.

Dalam kesempatan itu, Pak Yuri juga bercerita, selain sebagai prajurit beliau pun menjadi abdi dalem yang dipercaya untuk mengurus kuda-kuda milik keraton. Oh iya, di luar sebagai abdi dalem, beliau berprofesi sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Hewan UGM.

Mbah Sadiman, Pak Yuri, dan rekan-rekannya memiliki pemikiran sendiri, meski sebagai abdi dalem mendapatkan gaji yang sangat kecil, mereka percaya akan ada berkah lain yang bisa didapatkan. Entah dari dirinya sendiri, melalui "pintu" lain, ataupun melalui keluarganya.

Bahkan, mereka menganggap apa yang yang didapatkan dari keraton itu bukan gaji, tetapi kebanggan. Kebanggaan yang didapatkan dari ketulusan mengabdi. Mereka menyebutnya paring dalem. Sebagai tambahan informasi, sebenarnya selain menerima paring dalem berupa uang, mereka juga menerima bahan pangan dan sertifikat tanah dari keraton.

seorang prajurit kraton menunjukkan paring dalem yang baru saja diterima (dok. pribadi)
Contoh paling nyata kesetiaan dan keikhlasan seorang abdi dalem bisa dilihat dalam diri Mbah Maridjan. Juru kunci Gunung Merapi berpangkat panewu ini meninggal karena enggan meninggalkan tugasnya. Bahkan, dhawuh sang Raja pun tak mampu membuatnya meninggalkan tugas.

Banyak lagi filosofi yang bisa diambil dari abdi dalem. Seragam yang mereka kenakan pun memiliki arti tersendiri. Selama ini orang menyebut seragam yang dikenakan oleh abdi dalem itu bernama surjan.

Masih berdasar informasi dari Mbah Sadiman, busana yang dikenakan oleh para abdi dalem disebut busana peranakan, bukan surjan. Busana berlengan panjang dan berkancing lima tersebut terbuat dari kain tenun lurik dengan warna dasar biru tua mendekati hitam, bergaris vertikal biru muda berjumlah tiga dan empat baris (telupat) yang bermakna kewulu minangka prepat yang berarti rinengkuh dados kadang (disaudarakan dalam satu kesatuan di kerajaan). Persaudaraan yang diharapkan adalah persaudaraan sesama abdi dalem dan persaudaraan dengan Sri Sultan sebagai Raja mereka. 

Sedangkan warna biru tua menyimbolkan tekad yang kuat dan kesungguhan hati dalam pengabdian terhadap raja mereka. Raja sebagai pemimpin tidak melihat abdi dalem sebagai bawahannya, tetapi sebagai seseorang yang mengabdi kepada budayanya.

Terkadang, orang merasa kasihan ketika sepintas melihat kehidupan para abdi dalem, juga bertanya-tanya mengapa mereka mau mendapat upah dengan jumlah yang tak seberapa, mengapa mereka begitu setia pada kerajaan, dan sebagainya. Inilah yang patut diteladani, mengabdi dengan tulus dan ikhlas, tanpa mengharap suatu imbalan. Sepi ing pamrih, rame ing gawe.

Seandainya setiap orang memiliki jiwa seperti itu, tentunya negara kita tak akan seperti sekarang ini, yang penuh dengan koruptor.

Mengutip perkataan seorang kawan, Aziz Safa, "Saya malah berpikir, seandainya Jogja tidak ada kerajaan, maka tidak akan ada juga para abdi dalem. Dan mungkin masyarakatnya pun tak bisa seperti sekarang ini: ramah, sopan, murah hati, andhap asor. Itulah yang kemudian membuat Jogja Berhati Nyaman."

bangga bersama para abdi budaya (dok. pribadi)
Sekali lagi, abdi dalem bukan hanya abdi seorang Raja atau kerajaan saja. Lebih dari itu, mereka adalah abdi budaya. Yang mengabdi dengan penuh kebanggaan. Bangga akan kebudayaannya.

***

**Tulisan ini sekaligus untuk mengenang 22 tahun meninggalnya Simbah Kakung yang semasa hidup menjadi seorang abdi dalem keraton, dengan nama paring dalem Tomo Pawoko dan ketika meninggal berpangkat bekel tuwå.

17 comments:

  1. mesh poto sik ke telu ada sseorang yg tak kenali wajahnya ... de e tonggoku biyen jaman ngomah nang pingit :( kabar terakhir dia sudah sakit2an *sedih*

    ReplyDelete
  2. weeeh tulisane keren jeng, HL pokokelah :)

    ReplyDelete
  3. luar biasa pengabdian dan kecintaan mereka terhadap Kraton. sesuatu yang mestinya diteladani oleh banyak orang, banyak pekerja lain....

    ReplyDelete
  4. @mbak lina : hahahah... pengen aku posting di sana juga, tapi maless. ;))

    ReplyDelete
  5. @mygoodnesolivia : iya, seandainya saja seperti itu, pasti ga bakalan ada koruptor dehh.. :)

    ReplyDelete
  6. sepi ing pamrih, rame ing gawe... mungkin itu yang mengantarkan pengabdian mereka pada keikhlasan...

    ReplyDelete
  7. Jogja, pesonamu sungguh luar biasa. :)

    ReplyDelete
  8. Tulisan yang benarf-benar mencerminkan keraifan lokal dan kearifan penulisnya ... :)
    Saluut mbak Sha ...

    ReplyDelete
  9. hrs bnyak2 belajar lg tentang kebudayaan tradisional jogja :)

    ReplyDelete
  10. @pak daniel : terima kasih pak daniel, saya belajar dari njenengan. :)

    ReplyDelete
  11. @dhebu : yuhuu... kadang orang jogja malah ga tau budaya mereka sendiri. ;)

    ReplyDelete
  12. duhh pepak sanget mba' blogipun.. pun tengga rawuhipun wonten blog kulo.. matur nuwun..

    ReplyDelete

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.