Saat bulan Ramadhan seperti sekarang ini, terkadang suka bingung ketika pekerjaan mendapat jatah shift siang. Bukan bingung karena masalah penting, tapi hanya karena masalah makanan untuk berbuka puasa saja. Di bulan Ramadhan, tak setiap hari ibu masak mulai siang hari, sehingga aku pun tak bisa selalu membawa bekal seperti biasanya. Kalau jajan, bosan menunya itu-itu saja. Pilihan penjaja makanan di sekitar kantor cuma sedikit. Sebenarnya banyak penjual, tapi jenis makanannya sama. Jadi, ya gitu deh.

Alhasil, beberapa waktu lalu saat bekerja shift siang, sebelum berangkat, aku iseng membuka lemari penyimpan stok makanan, dan tadaaa... menemukan sebungkus bihun instan yang nyempil di antara tumpukan mie instan. Ehm, tanpa banyak pikir, aku segera mengambilnya. Kemudian, lanjut membuka kulkas, dong. Nggak seru kalau masak bihun instan tanpa embel-embel.

Telur, sudah pasti musti diambil. Dua sesuatu yang wajib dicari juga adalah daun bawang dan kubis. Rasanya tak bisa kalau masak mie instan atau sejenisnya tanpa dua sayuran tersebut. Alhamdulillah masih ada stok. Kalau ada sayuran atau pelengkap lain yang bisa diambil juga, namanya rejeki nomplok.

Yuhuu! Selain telur, daun bawang, dan kubis; aku menemukan sawi sendok alias pak coy, sosis ayam, serta bakso. Oiya, dua buah cabai rawit merah pastinya tak ketinggalan. Puas menggresek di kulkas, aku mencuci sayur-sayur tersebut, kemudian memisah-misahkannya ke dalam plastik, lantas memasukkannya ke kantong kresek beserta telur, dan si bihun instan tentunya. Setelah urut-urutan yang tak perlu dijabarkan itu, baru deh buntelannya masuk ke ransel.

Di kantor, beberapa jam selanjutnya.

Waktu istirahat telah tiba, mari beraksi! Padahal, cuma mau masak bihun instan doang, sih. Sesudah memanaskan air dalam panci menggunakan kompor listrik, aku memasukkan bahan pelengkap, bihun, dan sayur-sayuran yang dibawa dari rumah tadi. Tinggal cemplung-cemplung saja pokoknya.

Kira-kira, sepuluh menit kemudian, matanglah bihun yang sengaja kumasak dengan sedikit air agar rasanya tetap pas. Maklum, biasanya aku menambahkan bawang putih, tapi itu tidak. Saat menuangkannya ke dalam mangkuk, jadi takjub sendiri, soalnya penampakannya seperti kalau beli bihun godog di penjual bakmi jowo.

sengaja dibuat nyemek, biar rasanya tetap pas

Bihun yang pada kemasannya tertera beratnya hanya 51 gram itu, ternyata jadi banyak dan cukup mengenyangkan kalau ditambah macam-macam sayuran serta pelengkap. Padahal, awalnya agak sangsi, apakah aku bakalan kenyang setelah memakannya, apalagi untuk buka puasa. Secara, aku adalah perempuan dengan nafsu makan di atas rata-rata. Ups!

Dibandingkan dengan mie instan, menurutku bihun tersebut lebih aman untuk dikonsumsi. Kalau biasanya saat memasak mie instan, aroma bumbunya bisa tercium dari jarak puluhan kilometer―lebay, dikarenakan entah memakai bahan apa yang katanya tidak aman, bumbu bihun instan beda: aromanya tidak mencolok hidung. Air rebusannya pun tidak berubah warna menjadi keruh. Oke, harganya memang hampir dua kali lipat dari mie instan, tapi memang layak kalau dinilai dari rasa dan keamanan untuk dikonsumsi. Jadi kepikiran, kalau belanja bulanan, apa mie instan-nya kuganti bihun saja? Bisa dipertimbangkan, nih.

Omong-omong, ngobrolin tentang makanan gini, nggak membatalkan puasa kan, ya? Kecuali, kalau sekarang kamu sedang puasa dan membaca tulisan ini sambil ngemilin permen cicak. Hihihi.

***

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.