Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan Cirebon (dok. pribadi)

Beberapa tahun lalu, persisnya pada  akhir bulan sebelas 2018, aku berkesempatan mengunjungi sebuah kota di Jawa Barat yang memiliki julukan sebagai Kota Wali. Hayoo, ada yang tahu kota apa? Kurang familiar, ya? Hmm... kalau Kota Udang? Pasti tahu, dong. Tepat sekali, ialah Kota Cirebon.

Kota yang yang terkenal dengan kuliner Empal Genthong dan Nasi Jamblang  ini mendapat julukan sebagai Kota Wali karena dulunya merupakan tempat Syarif Hidayatullah atau kemudian bergelar Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam sekaligus memimpin keraton.


Ada yang Unik di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman Cirebon

Sehari di kota Cirebon, kala itu aku singgah ke beberapa destinasi wisatanya, di antaranya Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Dua keraton ini sangat berbeda kondisinya, dan bahkan membuatku miris ketika mengeksplorasi Keraton Kanoman hingga jauh ke dalam.

Sebuah gerbang di Keraton Kanoman Cirebon
Di depan sebuah gerbang yang terdapat di Keraton Kanoman Cirebon (dok. pribadi)

Kali ini, aku tak ingin membahas tentang perbedaan kondisi dua keraton di atas. Ada hal lain yang tak kalah menarik perhatianku. Meski kondisinya berbeda, terdapat kesamaan antara Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, keduanya sama-sama memiliki hiasan porselen berupa piring kecil cantik di dinding atau temboknya.

Gapura berbentuk candi bentar yang berada di halaman depan Keraton Kanoman Cirebon
Gapura berbentuk candi bentar yang berada di halaman depan Keraton Kanoman Cirebon, berhiaskan piring-piring keramik cantik (dok. pribadi)

Porselen dari negeri jauh. Terpasangnya memang pada dinding-dinding dalam kompleks Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman Cirebon, tetapi porselen atau keramik berwujud piring-piring kecil nan cantik tersebut datangnya dari Negeri Tirai Bambu dan Negeri Kincir Angin. Iya, jauh sekali.


Asal-Usul Porselen atau Keramik di Dua Keraton Cirebon

Menurut cerita Bu Astuti yang masih kerabat keraton dan menjadi pemanduku saat berkeliling Keraton Kanoman, keramik yang dari Belanda merupakan produksi Kota Maastricht, masing-masing gambar pada piring saling berkaitan, menceritakan kejadian-kejadian dalam Alkitab, tetapi ada juga yang sekadar gambar biasa. Sedangkan yang dari Tiongkok dibuat pada masa Dinasti Qing. Gambar-gambarnya tak ada makna tertentu, lebih ke estetika saja.

Cirebon di masa lalu merupakan pelabuhan besar bersifat internasional. Banyak kapal niaga yang singgah dari berbagai wilayah atau negara. Keramik Cina merupakan most wanted pada masa itu, paling dicari untuk diperdagangkan. Itulah mengapa kemudian banyak peninggalan keramik dengan lukisan Cina di Cirebon.

Contoh gambar pada piring keramik dari Maastricht (dok. pribadi)
Contoh gambar pada piring keramik dari Tiongkok (dok. pribadi)

Selain itu, pernikahan Sunan Gunung Jati yang merupakan Sultan Cirebon ke-2 dengan seorang Putri Cina bernama Ong Tien juga memengaruhi keberadaan porselen-porselen itu. Kalau yang dari Maastricht, tentu saja saat masa penguasaan serta kerjasama dengan kolonial Belanda, khususnya VOC. Dalam setiap kunjungannya ke keraton, petinggi Belanda selalu membawa cenderamata, salah satunya keramik.


Penutup

Nah, yang bikin gemas, selalu saja ada tangan-tangan nakal. Beberapa piring sengaja dicongkel dan dicuri oleh orang tak bertanggung jawab. Jadilah, kemudian diganti dengan piring-piring baru. Dari segi estetika memang tidak begitu berpengaruh, tapi dari nilai sejarah tentu saja hal tersebut sangat disayangkan.

Keramik yang ada di sebuah dinding dalam Keraton Kasepuhan Cirebon (dok. pribadi)

Terlepas dari kisah-kisah yang tergambar dalam keramik, adanya penambahan piring-piring tersebut sebagai dekorasi dinding menjadikan keseluruhan arsitektur di keraton-keraton Cirebon--bahkan di Makam Sunan Gunung Jati--semakin unik. Budaya Hindu, Islam, Kristen, dan Budha berpadu dalam keindahan yang bisa terus dinikmati oleh generasi ke generasi berikutnya.


***

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.