Sebentar lagi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi. Di Jogja, setiap kali peringatan ini selalu ada Upacara Grebeg yang disebut dengan Grebeg Mulud.

Sebelum Grebeg itu tiba, lagi-lagi aku ingin menuliskan tentang bregada Keraton yang selalu ada dalam Upacara Grebeg. Setelah sebelumnya menulis tentang Prajurit Nyutro, kali ini aku ingin menuliskan tentang prajurit yang konon berasal dari tanah Makassar, yaitu Prajurit Dhaeng dan Bugis, putih dan hitam. Kebetulan juga, dua prajurit ini adalah favoritku.

bregada dhaeng dan pandega-nya (jogjadankeraton.blogspot.com)
Berada di urutan kedua setelah Bregada Wirobrojo, Bregada Dhaeng tampak keren dengan seragam putih dan bulu ayam warna-warni di atas penutup kepala yang menjadi ciri khasnya. Seragam yang dikenakan sendiri berupa baju dan celana panjang putih dengan strip merah pada bagian dada dan samping celana. Penutup kepalanya berupa mancungan berwarna hitam dengan hiasan bulu ayam warna merah putih.

Seperti bregada lainnya, Dhaeng juga memiliki umbul-umbul atau bendera yang dinamakan Bahning Sari. Nama ini berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kata bahning berarti api dan sari berarti indah/inti. Secara filosofis bermakna pasukan yang berani dan pantang menyerah seperti semangat inti api yang tidak pernah kunjung padam. Dan, untuk dwaja-nya bernama Kanjeng Kyai Jatimulyo atau Doyok. Kalau Bregada Wirobrojo berada di bawah langsung Manggalayudha (panglima), Dhaeng didampingi oleh seorang Pandega asisten panglima atau semacam kapten.

Alat musik yang dibawa adalah tambur, seruling, pui-pui, kecer, ketipung, dan bende. Alunan lagu yang dimainkan berjudul Gendhing Kenobo untuk lampah pelan dan Gendhing Ondal-Andil untuk lampah cepat. Untuk alat musik, Dhaeng merupakan salah satu dari tiga bregada yang membawa bende. Kemudian senjata yang mereka bawa, di antaranya adalah tombak, bedhil (senapan), dan keris dengan kerangka bermotif tertentu.
para prajurit dhaeng dengan alat musiknya (flickr.com)
Mengapa bernama Dhaeng?  Tentu saja hal tersebut karena asal-muasal prajurit ini yang diperkirakan dari Sulawesi, tepatnya Makassar. Dhaeng merupakan sebutan gelar bangsawan di Makassar. Sedangkan secara filosofis, Dhaeng bermakna prajurit elit yang gagah berani seperti prajurit Makassar pada waktu dahulu dalam melawan Belanda. Dahulu, untuk ciri nama-nama para prajurit dalam bregada ini selalu disertai dengan kata Niti.
narsis dengan pak acep, salah satu perwira dhaeng, di grebeg besar tahun lalu (dok. pribadi)
Konon, awal keberadaan prajurit ini merupakan kiriman dari Pura Mangkunegaran Surakarta untuk mengawal GKR Bendoro (putri kedua dari Hamengku Buwono  I yang diperistri KGPAA Mangkunegoro I yang kemudian diceraikan dan dikembalikan pada orang tuanya. Untuk menjaga hal yang tidak diinginkan, kepulangan sang mantan istri, GKR Bendoro dikawal oleh pasukan pilihan, yaitu prajurit Dhaeng. Sesampai di Keraton Yogyakarta, prajurit ini justru disambut dengan baik, hal inilah yang kemudian membuat prajurit Dhaeng tidak mau pulang ke Surakarta. Mereka kemudian mengabdi dengan setia kepada HB I. Laskar Dhaeng kemudian oleh HB I diganti menjadi Bregada Dhaeng.
patung dhaeng di ujung jalan masuk kampung dhaengan (dok. pribadi)
Daerah yang merupakan tempat tinggal para Prajurit Dhaeng dulu terletak tepat di sebelah barat daya benteng keraton. Kini daerah tersebut dikenal dengan nama Kampung Dhaengan. Di ujung jalan sebelum masuk ke kampung ini terdapat sebuah patung Prajurit Dhaeng dengan pakaian lengkap berpangkat Panji.

***

2 comments:

  1. bgs jg nich gambar , aku jd pengen kenalan ma yg pny cerita ini , kebetulan aku jg salah satu dr anggota prajurit ini , silahkan mampir di fb ku , baskoro riyanto..........

    ReplyDelete
  2. Koreksi ya mbak. Itu bukan pak asep. Tp Pak Acep, Acep Ristiyanto. Sekarang beliau sudah penaiun :)

    ReplyDelete

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.