Dengan belakang pahanya Vizna mendorong kursinya ke belakang. Bokongnya sudah terasa panas sejak beberapa jam yang lalu. Rasa pegal di punggungnya semakin tak terkira. Diambil mug putih bertuliskan namanya di atas meja lalu dibawanya menjauh, menjauhi mejanya yang terlihat berantakan itu. Langkahnya yang gontai menggambarkan tubuhnya yang kelelahan. Tak lagi ada semangat yang tersisa. Bahkan segelas cappuccino kesukaannya pun tak lagi menarik minatnya. Dia hanya menenteng mug itu tanpa ada niat meneguk habis isinya yang masih tersisa setengah.

Sebuah jendela kaca yang cukup besar didekatinya. Ah, salah, itu bukan jendela. Tak ada jendela disini. Ruangan ini di satu sisinya adalah dinding kaca yang terbagi beberapa sekat. Sebagian tirai kainnya terbuka. Tak salahlah kalau membuat orang yang melihatnya salah sangka kalau itu jendela. Masih dengan mug di tangan kanannya, ditempelkan punggung lengan kanannya ke dinding kaca itu. Matanya lurus ke depan, tak jelas apa yang dipandangnya. Dan pikiran yang sedari tadi terkuras pada lembar-lembar kertas laporan keuangan pun mulai melanglang, terbang.

Ah, matahari sudah mulai bersiap untuk kembali rupanya. Semburat jingga terhampar jelas di langit saat ini. Langit jingga menandakan senja telah tiba. Tak lama karena semburat itu perlahan-lahan akan berubah menghitam. Teringat kata-kata eyangnya dulu, saat seperti ini anak-anak dilarang berkeliaran di luar rumah karena jika tidak raksasa jahat akan memakan mereka. Kenangan itu membuat bibir Vizna sedikit merekah. Semakin sulit baginya untuk tersenyum saat ini. Semburat jingga yang semakin menghitam, indah sekaligus mengiris, miris.

Sebuah ketukan di pintu menghentakkan Vizna dari lamunan.

“Ya.”

Seraut wajah muncul dibalik pintu.

“Mbak nggak pulang?”

“Oh, kamu Nad. Duluan aja, masih ada yang mau kuselesaikan.”

“Oke. Jangan terlalu memaksakan diri, Mbak. Ingat kesehatan.”

“Sip.”

Pintu kembali tertutup. Kembali sepi. Vizna menghela nafasnya. Teringat mug di tangannya, diletakkan benda itu di depannya, di antara sekat dinding kaca. Matanya kembali menatap, kali ini ke jalanan yang terlihat begitu padat. Jam pulang kantor dan kemacetan bukanlah hal yang luar biasa. Kendaraan saling serobot, bunyi klakson bersahutan bahkan mampu didengarnya yang saat ini terkurung di antara dinding di lantai tiga gedung kantornya.

Jingga tak lagi terlihat, langit yang semakin gelap, hitam. Senja sudah tenggelam. Lampu-lampu sudah menyala, menggantikan matahari yang sudah lelah bekerja. Tak terasa pipi Vizna menghangat. Ah, kenapa datang juga airmata ini? Aku hanya ingin melihat jingga. Aku hanya ingin mengenangnya. Ah, kenapa juga aku masih membohongi diri? Adalah pikiran-pikiran yang saat ini berkeliaran di kepala Vizna.

*******


kau tahu?
aku merindukanmu sejak setelah kita berpisah
dua tahun lalu pada semburat jingga yang menyembul di langit sisi barat
‑­
pertemuan terakhir kita
kala itu, kau tak mengatakan apa pun
aku juga enggan mengatakan apa pun padamu
hingga kini, terkadang aku mencuri-curi kesempatan
mengintip jingga yang hampir hilang ditelan garis horizontal
berharap menemukan sosokmu di sana…

*******


Surabaya, 18 Maret 2011



*poem by me, story by Rina Tri Lestari


2 comments:

  1. ceritanya kereeen, puisinya indaaah
    kolaborasi yang mantab mbakyu!!

    ReplyDelete
  2. @izzah : hehehe...makasih zzah *ngasih izzah teh manis lagi* :D

    ReplyDelete

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.