Secuil Kenangan Tentang Cublak-cublak Suweng
Di era yang serba modern 
ini, segala sesuatunya bisa didapatkan atau dilakukan dengan mudah, 
sehingga terkadang membuat kita menjadi begitu konsumtif. Ditambah lagi 
dengan mudahnya mengakses internet, hampir segalanya jadi bisa dilakukan
 dari satu tempat saja, asalkan kita memiliki sambungan internet dan 
gadget yang menunjang. Jadilah kehidupan kita di masa kini semacam 
terperangkap dalam sebuah kotak  berlayar kaca di depan mata yang mampu 
membawa kita ke mana saja, pun melakukan apa saja. 
Bahkan, dalam hal 
permainan, kebanyakan anak zaman sekarang sudah tak bisa lepas dari 
gadget di tangan. Berbagai permainan atau mereka lebih senang 
menyebutnya sebagai games, bisa dilakukan melalui smartphone, tablet, 
ataupun laptop. Mulai dari yang sederhana hingga memerlukan keahlian 
khusus, semua ada. Mulai dari yang tak membutuhkan sambungan internet, 
hingga yang memerlukan jaringan internet super kilat juga ada. Inilah 
yang tanpa sadar membuat anak-anak di era modernisasi ini menjadi egois 
dan individualis.
|  | 
| anak-anak dengan gadget di tangan (sumber gambar) | 
Berbeda dengan ketika aku masih bocah. Aku biasa menyebut masa bocahku dengan sebutan generasi 90-an, karena di rentang tahun tersebut aku menghabiskan masa kecil. Belum adanya gadget yang membombardir kehidupan masa kecilku dan juga kawan-kawan sebaya lainnya, membuat kami lebih kreatif dalam bermain. Kreatif maksudnya, dalam bermain kami tak hanya duduk, tetapi juga melakukan berbagai macam gerak dan lagu.
Masih teringat dengan 
jelas, aku dan kawan-kawan hampir setiap hari bermain bersama di 
halaman rumah, di halaman sekolah, di pelataran balai, di lapangan 
kampung, atau sekedar di teras rumah. Kami melakukan berbagai permainan 
mulai dari yang individu seperti gasing, yoyo, layangan, dakonan (congklak), bola bekel, beradu kelereng (gundu), dan sebagainya. Sedangkan permainan kelompok yang biasa dilakukan adalah jamuran, ancak-ancak alis, gobak sodor, cublak-cublak suweng, yeye (lompat tali), jethungan (petak umpet), dan masih banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu-persatu.
Dari sekian banyak permainan 
tradisional yang pernah kumainkan bersama kawan-kawan, semuanya 
menarik. Namun, cublak-cublak suweng yang begitu membekas di hatiku. Meski sederhana, permainan tersebut menarik dari berbagai segi. Ya 
menarik namanya, ya menarik cara memainkannya, ya menarik lirik lagu 
yang mengiringinya. Makna filosofis yang terkandung di dalamnya 
pun menarik.
Berbicara tentang permainan tersebut, aku selalu 
teringat pada simbah putri yang telah memperkenalkan cublak-cublak suweng padaku, meski sebenarnya tanpa dikenalkan oleh 
simbah pun pasti aku tetap akan mengenalnya, karena di masa kecilku banyak anak-anak yang bermain cublak-cublak suweng. Ya, 
bagaimanapun aku tetap harus berterimakasih pada simbah.
Saat malam hari, kala bulan memantulkan sinar matahari dengan 
sempurna, aku dan kawan-kawan, setelah belajar akan keluar rumah 
kemudian menuju halaman rumah salah satu kawan dan bermain bersama. Di 
bawah terang bulan, kami bermain ancak-ancak alis, jamuran, dan juga 
berkejaran kesana-kemari. Sangat mengasyikkan!
Lalu kalau sudah lelah, 
kami beristirahat. Bukan sembarang istirahat, karena dalam posisi duduk,
 kami tetap saja bermain. Tentu saja cublak-cublak suweng yang kami 
mainkan. Sebelum memulai permainan, kami melakukan  hompimpah 
untuk menentukan siapa yang akan menjadi Pak Empo. Pak Empo ialah anak 
yang kalah dalam hompimpah, kemudian ia akan berbaring telungkup 
sedangkan kawan-kawan lainnya duduk melingkari dan menaruh telapak 
tangan dengan posisi terbuka di atas punggung Pak Empo. Permainan 
tersebut bisa diikuti oleh banyak anak sekaligus, selama punggung Pak 
Empo masih bisa memuat telapak tangan-tangan peserta.
Oh iya, sebelum melakukan pemainan cublak-cublak suweng, jangan lupa 
mencari benda apapun yang bentuknya kecil dan bisa digenggam. Bisa 
kerikil, logam, dan sebagainya—biasanya kami menggunakan kerikil. Benda 
tersebut nantinya akan dianggap sebagai suweng (giwang). Setelah siap, barulah kami memulai permainan dengan menyanyikan lagu yang liriknya sebagai berikut:
Cublak-cublak suweng
  Suweng e ting gelenter
Mambu ketundung gudel
Pak Empo lirak-lirik
Sopo ngguyu ndelikkake…
Sir, sir pong dele gosong
Sir, sir pong dele gosong
Sir, sir pong dele gosong…
Hehehe… lucu ya liriknya? Sambil menyanyikan lagu di atas, si 
pemegang ’suweng’ akan memutar kerikil dari satu telapak tangan ke 
telapak tangan anak-anak lain, seolah akan memberikan pada salah satu 
dari mereka. Begitu seterusnya hingga lagu di bait pertama habis.
Ketika
 masuk bait kedua, ’suweng’ sudah digenggam oleh salah satu anak, Pak 
Empo bangun dan anak-anak lainnya menutup kedua tangan seperti 
menggenggam sesuatu, tapi bagian telunjuknya terbuka. Lalu, kedua tangan
 posisi menggenggam tadi diangkat setinggi dada serta digoyangkan sambil
 menyanyi dan mengikuti irama lagu bait kedua hingga selesai.
|  | 
| hayooo... sopo ngguyu ndelikkake! (sumber gambar) | 
Saat anak-anak menyanyikan bait kedua tersebut, Pak Empo akan 
kebingungan menebak siapa yang membawa suwengnya. Awas, di bagian ini 
Pak Empo seringkali terkecoh karena biasanya anak-anak selalu 
menunjukkan pertanda seolah mereka yang menyembunyikan ’suweng’.
Kalau 
Pak Empo berhasil menebak siapa pembawa ’suweng’, maka anak yang 
ditunjuk tersebut akan menjadi Pak Empo selanjutnya, tetapi kalau salah 
tebak maka ia pun akan menjadi Pak Empo kembali. Begitu seterusnya 
sampai kami lelah bernyanyi dan bermain. :P 
Dulu, kalau ada anak yang 
menurut kami nakal dan kebetulan ia menjadi Pak Empo, maka biasanya ia 
akan  dijendilke atau sengaja dibuat menjadi Pak Empo terus 
sampai ia bosan dan lelah telungkup. Caranya dengan menyembunyikan 
’suweng’ di tempat lain, bukan di tangan salah satu dari kami, dengan 
begitu, siapapun yang ia tebak, maka tak ada yang benar. Puas rasanya 
kami bisa ‘balas dendam’ pada anak tersebut, hahaha…
Kelihatannya memang hanya menyanyi dan menyembunyikan benda kecil, namun
 permainan cublak-cublak suweng ada manfaatnya juga bagi anak-anak yang 
masih dalam masa pertumbuhan. Dengan memainkan permainan tersebut, efek 
yang paling sepele adalah secara tidak langsung anak akan diajak belajar
 menyanyi dan menghafal lagu, juga berlatih kekompakan dalam menyamakan 
ritme lagu dan gerak tangan. Selain itu, anak pun akan belajar bagaimana
 harus menjaga sebuah rahasia.
Bukan rahasia lagi kalau orang Jawa pada dasarnya memiliki budaya senang
 berkumpul, meski dalam kegiatan tersebut sekedar duduk-duduk dan 
mengobrolkan hal yang ‘tak penting’. Dari kebiasaan suka berkumpul itu 
bisa ditebak kalau mungkin dulu permainan-permaian tradisional Jawa juga
 muncul dari kebiasaan berkumpul. Hal itu bisa dilihat dari berbagai 
permainan dalam masyarakat Jawa yang kebanyakan melibatkan banyak anak. 
Salah satunya ya cublak-cublak suweng yang sudah kusebutkan di atas.
Permainan anak tradisional dilakukan tak hanya untuk mencari kesenangan, melainkan juga memberi dampak positif dan media belajar bagi anak-anak. Dampak yang paling jelas dengan melakukan permainan tradisional yaitu mengajarkan anak untuk bersosialisasi dengan teman. Selain itu, permainan tradisional juga mampu melatih gerak motorik dan kreatifitas, melatih kemandirian, mengajarkan arti kesetiakawanan, mengajarkan bagaimana cara mengendalikan diri dan emosi, belajar saling menghargai, belajar bekerja sama, berlatih kesabaran, hingga diajarkan bagaimana cara berempati terhadap orang lain. Seperti yang telah diketahui, masa kanak-kanak merupakan masa perkembangan otak yang paling bagus untuk mengajarkan berbagai pengalaman serta pelajaran hidup yang kelak akan mempengaruhi kepribadian ketika dewasa.
Sebagai tambahan, dalam melakukan permainan tradisional, anak-anak selalu mengawalinya dengan hompimpah. Apapun permainannya, jangan lupa hompimpah dulu!
 Asal tahu saja, dalam hompimpah pun ada makna yang terkandung di 
baliknya. Hompimpah kalau diuraikan memiliki makna tertentu yang 
kandungannya sangat bagus. Hompimpah alaihom artinya dari Tuhan
 kembali ke Tuhan. Jadi ketika anak-anak melakukan hompimpah sebelum 
melakukan permainan, secara tak langsung mereka belajar arti kepasrahan.
 Ketika akhirnya mengucap gambreng, mau tangannya menengadah ke
 atas, mau tangannya tengkurap, mereka tidak peduli. Tak peduli dalam 
artian pasrah mau menang atau kalah, pokoknya mereka bisa bermain 
bersama.
|  | |
| ular naga panjangnya bukan kepalang... (dok. pribadi) | 
Mulai hilangnya atau sudah sulit dijumpainya permainan tradisional di masa 
kini sangat disayangkan, karena itu tandanya juga menghilangnya salah 
satu nilai budaya Indonesia. Tentunya, kita semua tak ingin jika pada 
akhirnya salah satu budaya tersebut akan benar-benar musnah. Kalau mau 
menyadari, orang dewasa sebenarnya juga turut andil sebagai penyebab 
mulai menghilangnya permainan tradisional. 
Sebagai orang dewasa, kita 
sering kali khilaf dengan tak lagi mengajak dan mengajarkan anak-anak 
kita, adik-adik kita, atau anak-anak di sekitar kita bagaimana bermain 
bersama tanpa campur tangan teknologi. Jadi, untuk mencegah kemusnahan 
permaian tradisional, mulai sekarang kita bisa mengajak dan mengajarkan 
anak-anak di sekitar kita untuk bermain bersama di alam terbuka, sejenak
 meninggalkan gadget di tangan. Mari bermain bersama… ;)
***
*tulisan ini pernah dipublikasikan di akun kompasiana-ku, ditulis ulang di sini karena untuk update blog saja. :P


 
 
 
 
 
 
Dulu waktu masih langsing, sering main lompat karet... :D
ReplyDeleteRindu masa kecil dan lagu anak-anak. :(
Hehehe sekarang merasa sdh gendut, mas? Mustinya justru buat olahraga biar langsing lagi lho. Hihihi...
ReplyDeletewah ada yang lagi lomba nih
ReplyDelete