Beberapa hari menjelang perang pecah, ibu itu, Kunti, meminta agar Karna datang menemuinya. Dan ksatria itu datang. Mereka bertemu di sebuah kuil kecil di tepi gurun, setengah hari berkereta di luar Kota Astina.

Hari mulai gelap. Karna turun dari kudanya dan menyuruh pengawalnya menjauh. Di ruang dalam pura, yang diterangi tiga suluh di dinding, ia lihat perempuan itu berdiri, menunggu. Tak ada orang lain yang tampak. Hanya seorang dayang bersila di sudut. Untuk apa pertemuan ini? Apa kiranya yang dikehendaki Kunti?

Wanita itu masih ramping dan tegak. Janda Baginda Pandu. Ratu sepuh. Mungkin usianya telah lewat 60. Parasnya kehitam-hitaman, matanya penuh sorot. Penderitaan seakan-akan telah memperkukuhnya. Berapa tahunkah ia hidup dalam hutan, mengikuti kelima anaknya, para pangeran Pandawa, selama mereka dalam pengasingan?

Sepuluh tahun lebih. Karna hanya ingat, lebih dari 10 tahun yang lalu ia tergetar waktu ia berdiri di baluwarti dan menengok ke jalan, dan melihat ratu itu—mengenakan kain kasar dan ikat rambut wanita pertapa—dengan kepala tegak duduk di samping Arjuna dan keempat saudaranya, di gerobak sapi yang akan membawa mereka ke luar batas kota, ke hutan, ke pembuangan.

Kini kenapa perempuan itu ingin menemuinya—ia, Karna, seorang musuh, di pihak para Kurawa yang harus disingkirkan dalam perang pembalasan? Kita hanya tahu dari para dalang bahwa di senja itu ternyata Kunti mengungkapkan sebuah rahasia besar: Karna adalah anaknya.

Empat puluh dua tahun yang lalu, kata wanita itu, ia melahirkan seorang bayi. Bayi itu harus dibuangnya ke sungai, karena lahir dari sebuah percintaan gelap. Tak bisa dibayangkan, bagaimana sebenarnya pembicaraan berlangsung dalam kuil itu. Bagaimana Karna menerima rahasia yang dibuka mendadak itu? Terkejut? Syak? Terharu? 

Konon ia tak syak. Baginya Kunti memang ibunya. Kata orang, selama ini ia memang selalu ingin menemukan ibu yang melahirkannya. Ia anak dapat, orok yang dijumpai di sungai dan dipelihara satu keluarga sais. Juga Karna cepat mempercayai cerita Kunti, tutur sebagian orang lain, karena ia diam-diam selalu ingin agar ia (kini seorang adipati di Awangga) punya darah biru, bukan darah sudra…. Tapi benarkah Karna demikian? Tak bertanyakah Karna kenapa baru saat itu Kunti membuka rahasia itu? Tak sakit hatikah ia terhadap Kunti yang tega membuangnya ke arus sungai—jika ia memang bayi itu? Tak mungkinkah pertemuan di kuil itu hanya siasat para Pandawa, agar ia—seorang prajurit yang ulung—tak berpihak lagi kepada Kurawa?

Para dalang tak menjawab. Mereka hanya bercerita bahwa Karna menolak permintaan Kunti agar ia meninggalkan para Kurawa. Ia akan tetap berperang menghadapi kelima pangeran Pandawa. Konon inilah yang diucapkannya kepada ratu sepuh itu: "Kalau hamba tewas dalam perang nanti, ataupun bila Arjuna gugur oleh tangan hamba, Ibu akan tetap akan punya lima orang putra."

Dan Kunti menangis. Jika itulah yang diucapkan Karna, ksatria itu telah mengatakan sesuatu yang lebih jauh. Karna menyebut jumlah, ia menyebut anak yang bisa saling dipergantikan. Tapi seorang ibu akan tahu—kecuali mungkin seorang ibu yang tega membuang seorang anaknya ke sungai—bahwa tak ada sejabang bayi pun yang bisa digantikan. Setiap orok mengisyaratkan sesuatu yang berbeda—dan beda itu tak terjangkau. Setiap kelahiran, seperti setiap kematian, membenarkan kalimat yang mengatakan bahwa setiap kita akhirnya datang sendiri-sendiri di depan Tuhan. Manusia bukan hanya satu angka dalam sebuah himpunan. Ia punya nasib, dan "nasib adalah kesunyian masing-masing", seperti kata satu sajak Chairil Anwar.

Ketika kesunyian masing-masing itu tak diakui, pembunuhan dimulai. Politik dan hukum bukan sebuah dunia etis—juga filsafat dan agama kehilangan tindak etis—ketika kesunyian yang berbeda-beda itu diabaikan. Tatkala politik, hukum, filsafat, ilmu, dan agama menghabisi yang lain yang berbeda, dunia pun dikuasai oleh yang sama. Klimaks Mahabharata terjadi dalam sebuah perang yang bengis. Manusia diperlakukan hanya punya dua gugus nasib: membunuh atau dibunuh, tewas atau menang.

Sering Mahabharata menjadi sekadar sebuah dongeng kepahlawanan. Tapi kisah kepahlawanan membuat kemenangan dan tewas bukan hal yang berlainan. Sekaligus diabaikanlah beragam korban dalam sejarah. Mereka tak dicatat, tak dapat tempat. Dan apa akhirnya? Keadilan, setelah kesewenang-wenangan terbalas? Sebuah tahap baru, yang terangkat dari benturan tesis dengan antitesis?

Jika Mahabharata hanya ditafsirkan demikian, liku-liku jalan hidup manusia akan terpola dan selalu bisa diulang. Nasib pun bukan "kesunyian masing-masing". Semua hal pun bisa diketahui, lempang seperti garis. Tapi tak semua hal bisa diketahui, tak semua hal bisa dikuasai. Di senja itu, Kunti juga mencoba menarik satu garis lurus sebab-dan-akibat: barang siapa yang jadi anaknya akan berperang di pihaknya. Tapi ia akhirnya harus mengakui bahwa ia, yang membuang seorang anak 42 tahun yang lalu, tak akan mendapatkannya kembali.

Karna yang dibuang menjadi sepenuhnya orang lain. Dalam hal itulah Karna melambangkan nasib dan kesunyian tiap manusia: sesungguhnya ia bukan Pandawa, ia bukan Kurawa. Ia terus-menerus sebuah beda, sebuah ambiguitas.

***

*Goenawan Mohamad (Tempo, 14 Februari 2000)

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.