Seperti yang telah direncanakan jauh hari sebelumnya, hari Minggu lalu (03/02), aku dan kawan-kawan kantor berangkat juga ke Pantai Pok Tunggal yang terletak di kawasan Tepus, Gunungkidul. Agak sulit dipercaya saat kami berangkat "hanya" molor sekitar 30 menit dari waktu yang ditentukan. Biasanya, jika akan jalan-jalan bersama pasti berangkatnya bisa molor lebih dari satu jam. Hahaha...

Kami beranjak meninggalkan Jogja pagi-pagi pukul 05.00 dari rumah salah seorang kawan, setelah malamnya menginap di rumahnya. Ya, ya... menginap bersama lah  yang membuat keberangkatan kali itu tidak begitu molor.

Dari 13 orang yang ikut, enam orang saling berboncengan menggunakan sepeda motor dan sisanya berada dalam satu mobil. Aku sendiri ikut rombongan yang berada dalam mobil. Niatnya, sih, agar bisa melanjutkan tidur.

Tak seperti biasanya bila mengunjungi pantai-pantai di kawasan Gunungkidul, kami menuju Pok Tunggal dari arah barat melewati Panggang, Bantul.

Sepanjang perjalanan, rute yang kami lewati masih lengang, dan mentari di ufuk timur yang mulai muncul dari peraduan terkadang mengintip diam-diam dari balik rimbunnya pepohonan di kanan-kiri jalan.

Gurauan-gurauan tak bermutu dan lagu pengiring Summer Paradise dari Simple Plan membuat rasa kantuk yang tadinya masih bergelantung di pelupuk mata menjadi hilang sama sekali dan berganti dengan tawa-tawa yang memenuhi mobil.

sepagi ini kami berangkat (dok. pribadi)
Jalan yang sedikit berkelok-kelok dan naik-turun membuat dua kawan kami mual dan hampir mabuk perjalanan. Mobil pun menepi sebentar, lantas dua kawan tersebut bertukar dengan dua kawan lainnya yang menggunakan sepeda motor.

Perjalanan pun berlanjut, namun tak lama kemudian lagi-lagi mobil menepi. Bukan ada yang mabuk lagi, melainkan hasrat ingin pipis yang tak tertahankan, ditambah sepanjang perjalanan ngakak-ngakak terus. Semakin tersiksa lah perut. :))

Di tengah obrolan kami yang random, salah seorang kawan tiba-tiba melempar pertanyaan, 

"Menurut kalian, pantai paling indah dan berkesan yang pernah dikunjungi itu apa?"

Dan, bermacam nama pantai muncul dari masing-masing mulut kami, tetapi ada satu jawaban tak terduga muncul dari kawan yang memegang kemudi di depan. Dia menjawab,

"Sebenarnya semua pantai itu sama saja, biasa saja. Yang membuat jadi luar biasa adalah momennya. Dengan siapa kita mengunjunginya."

Gyahahahaha... setuju banget, deh, sama komen kamu!

Setelah hampir dua jam, akhirnya kami melihat papan penunjuk jalan menuju Pok Tunggal yang masih berupa tulisan tangan disertai dengan gambar sebuah pohon. Maklum saja, pantai tersebut belum lama dibuka untuk umum dikarenakan aksesnya yang agak sulit dijangkau. Jadi, bersiaplah untuk merasakan sensasi perut yang seperti dikocok-kocok saat melewati jalan setapak menuju sana, apalagi untuk yang punya penyakit mabuk perjalanan, tuh! :))

papan penunjuk jalan menuju pantai (yuyunitha.blogspot.com)
Bagaimana perut tak serasa diguncang kalau jalan yang kami lewati adalah jalan sempit, terjal, berbatu, berkelok-kelok, dan naik-turun yang diapit oleh karang-karang besar di kanan-kirinya. Sungguh mendebarkan! Ditambah lagi saat tiga motor di depan mobil yang dikendarai kawan-kawan lainnya sempat ngepot dan hampir jatuh ketika melewati jalan yang sebenarnya telah diperbaiki, namun masih saja ada bebatuan tajam di sana-sini.

pohon duras yang menjadi ikon pok tunggal (koran-jakarta.com)
Sepanjang 2 kilometer kami harus melewati jalan yang sedikit memicu adrenalin. Selepas itu, kami pun tiba juga di pantai yang sering disebut-sebut sebagai surga tersembunyi tersebut. Secara harafiah, pok tunggal berarti pohon satu, maksudnya di pantai tersebut hanya ada sebatang pohon, yang dimaksud adalah Pohon Duras yang terletak di bibir pantai.

Sayangnya saat kami tiba, pohon yang menjadi ikon pantai itu sudah "dikuasai" orang lain. Namun hal tersebut tak lantas membuat kami kecewa, karena pemandangan indah terbentang di depan mata. Pantai yang landai, debur ombak yang bergemuruh, seolah memanggil kaki-kaki kami agar berlari dan menyatu dengan lautan.

Terbayar sudah rasa dag-dig-dug yang sempat muncul dalam perjalanan. Meski saat itu masih pagi, suasana pantai sudah ramai karena hari tersebut adalah Minggu. Tak jarang kami jumpai tenda-tenda yang didirikan untuk kemah pada malam sebelumnya.

tebing karang itu... (dok. pribadi)

gubuk di atas tebing itu yang akan kami tuju (dok. pribadi)
Sensasi yang membuat beda di pantai yang terletak antara Pantai Siung dan Indrayanti tersebut adalah tebing-tebing karang yang mengelilinginya. Di atas tebing sebelah timur pantai terdapat sebuah gubuk yang melambai-lambaikan tangannya meminta disambangi. Awalnya, nyaliku sempat menciut saat melihat tinggi tebing yang berdiri tegak lurus dengan kemiringan hampir 180 derajat. Tapi rasa penasaran lebih menguasai daripada rasa takut. 

Kemudian, aku pun naik dengan tujuh kawan yang memiliki rasa penasaran juga. Sedangkan lima kawan lainnya memilih untuk tiduran di atas pasir putih. Membicarakan tebing-tebing yang berdiri tegak tersebut, sepertinya cocok kalau digunakan sebagai area olah raga panjat tebing. Mungkin kelak, pengelola pantai bisa membuka jalur pemanjatan seperti yang ada di Pantai Siung.

akhirnya berani naik juga. terlihat juga penampakan jembatan bambu yang sudah reyot (dok. pribadi)
jalannya harus satu-satu gini (dok. pribadi)
Tak seperti yang dibayangkan sebelumnya, ternyata jalan menuju atas tebing tidak menyeramkan. Awalnya memang miring dan terjal, tapi selanjutnya berupa jalanan datar yang dibuat pada lereng tebing. Oh iya, di lereng tebing juga ada jembatan sempit dan mulai reyot dari bambu yang harus kami lewati. Sekilas melihatnya, memang agak ngeri, namun saat melewatinya biasa saja rasanya. 

Tanah yang berupa lempung di sepanjang jalan membuat alas kaki yang dikenakan menjadi agak berat karena tanahnya menempel. Saat hampir sampai di gubuk yang akan dituju, ada papan yang bertuliskan "Masuk kawasan ini bayar 2.000," padahal kami tak ada yang membawa uang. Tapi untungnya, waktu itu masih pagi sehingga penjaganya tidak ada. Kami pun bebas melanjutkan perjalanan. Maaf, ya, Pak Penjaga.

narsis dengan background tebing karang (dok. pribadi)
Keringat sudah menetes di pelipis dan dahi, kami pun sampai di atas puncak yang ada gubuk kecilnya. Di depan mata, indah sekali pemandangannya. Pantai yang luas, pasir putih yang membentang, dan tebing-tebing karang yang kokoh. Setelah puas mengagumi mahakarya-Nya, tibalah saatnya untuk bernarsis-ria. Hampir satu jam berlalu, kami kembali turun menuju pantai.

mengagumi mahakarya-Nya (dok. pribadi)

pantai dilihat dari atas tebing (dok. pribadi)
hamparan pasir putih di tepi pantai (dok. pribadi)
narsis lagi sebelum turun :P (dok. pribadi)

Kawan yang lain sudah menunggu di bawah, mengajak kami yang dari atas tebing untuk menyatu dengan ombak di lautan. Saat itu, bisa dikatakan kami lah penguasa pantai di sebelah timur.

Ya, gimana nggak menguasai kalau suasana di bagian timur masih sepi dan rombongan kami lah yang paling ramai. 

Takut pada gulungan ombak, tapi terus saja menerjang dan melawannya. Kalau sudah begitu, teriakan para perempuan lah yang mampu mengalahkan suara deburan ombak. :))

menantang ombak (dok. pribadi)

bahagia itu sederhana (dok. pribadi)

narsis lagiiii.... (dok. pribadi)

Tawa-tawa ceria, bergumul dengan ombak, air laut yang berkecipak, dan saling menarik tangan merupakan hal-hal yang membuat pagi itu menjadi syurga sekali! Bahagia!

Sengatan matahari yang semakin terasa di kulit menyadarkan kami kalau siang sudah menjelang. Kami memang tak berencana berada di pantai selama seharian, karena beberapa dari kami ada yang harus tetap bekerja sorenya. Akhirnya, sekitar pukul 10.00 kami menyudahi pergumulan dengan ombak.

deretan payung yang disewakan (dok. pribadi)

Dalam perjalanan menuju parkiran dan kamar mandi umum, aku baru menyadari kalau ternyata banyak sekali yang menyewakan payung besar beraneka warna untuk berlindung dari teriknya matahari, harga sewanya dibandrol 20.000/payung sampai puas. 

Ada juga yang menyewakan tenda dome dengan tarif 60.000 untuk pengunjung yang ingin berkemah. Selain itu, meski Pok Tunggul masih tergolong pantai baru, tetapi sudah banyak berderet warung yang menjual makanan atau sekadar kelapa muda dan rujak. Kamar mandi umum yang berderet pun juga tergolong bersih dan airnya jernih.

narsis sebelum pulang! (dok. pribadi)

Tepat pukul 11.00, kami bertigabelas meninggalkan pantai yang kelak akan selalu menjadi kenangan. Mungkin, dikunjungi sendiri pun Pok Tunggal sudah indah, apalagi menghabiskan waktu di sana bersama kawan-kawan yang "gila", jadi semakin berkesan.

Ada yang masih bingung, akhir pekan ini hendak ke mana? Pok Tunggal boleh dicoba, lho! Dijamin tak akan menyesal mengunjungi pantai yang masih alami dengan hamparan pasir putih dan dikelilingi tebing-tebing karang tersebut. 

Oh iya, perlu diingat, di mana pun kita berada, jangan buang sampah sembarangan, ya!

***

3 comments:

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.